Rabu 08 Feb 2017 15:01 WIB

Pengadilan Pertanyakan Sentimen Anti-Islam dalam Perintah Eksekutif Trump

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Presiden AS Donald Trump.
Foto: AP Photo/Pablo Martinez Monsivais
Presiden AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANCISCO -- Pengadilan banding San Francisco mempertanyakan sentimen anti-Islam dalam perintah eksekutif Presiden Donald Trump, Selasa (7/2). Tujuh negara yang dilarang masuk AS merupakan negara mayoritas Islam.

Pengungsi yang dilarang masuk AS juga sebagian besar Muslim. Hakim Richard Clifton mengatakan perintah eksekutif ini berimbas pada 15 persen Muslim di dunia. Pengadilan akan memutuskan apakah itu termasuk diskriminasi.

Hakim Clifton adalah satu dari tiga hakim pengadilan yang akan membuat keputusan terkait kasus. Sesi pada Selasa berlangsung selama satu jam yang diisi oleh argumen dari kedua pihak.

Dari sisi pemerintah, Kementerian Kehakiman mendesak hakim kembali memberlakukan perintah larangan. Pengacaranya, August Flentje mengatakan Kongres telah memberi otoritas pada presiden untuk mengendalikan siapa saja yang bisa masuk negara.

Saat ditanya bukti tujuh negara yang dilarang berisiko tinggi terhadap AS, pengacara tidak menyebut alasan lengkap. Ia mengatakan sejumlah orang Somalia di AS terbukti berhubungan dengan kelompok al-Shabaab.

Pengacara pembela Washington yang mengajukan gugatan kemudian membuktikan menghentikan perintah eksekutif tidak merugikan pemerintah AS. Dalam menit terakhir, sesi bergerak pada kemungkinan perintah eksekutif ditujukan khusus untuk Muslim.

Kementerian Kehakiman mengatakan perintah ini netral tak pandang agama. Jaksa agung muda, Noah Purcell mengatakan pernyataan kampanye Trump sangat jelas menjanjikan larangan Muslim.

Putusan pengadilan akan ditentukan pekan ini. Namun apa pun putusannya, hasil akhir kemungkinan diurus oleh Mahkamah Agung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement