REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH - Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, telah menghabiskan ratusan jam untuk berkomunikasi dengan presiden dan menteri luar negeri AS selama 12 tahun kepemimpinannya. Namun kali ini ia gagal menjangkau Presiden baru AS, Donald Trump.
Abbas merasa khawatir adanya kemungkinan AS tidak memedulikan Palestina. Terlebih pemerintah AS kini sedang merangkul Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mengundangnya ke Gedung Putih pekan depan.
Pada Desember lalu, tim transisi Trump menolak untuk bertemu dengan para pejabat Palestina yang mengunjungi Washington. Pembantu dekat Abbas, Saeb Erekat, mengatakan Palestina diminta menunggu sampai pelantikan Trump pada 20 Januari.
Baca juga: Israel Setujui RUU Legalkan Permukiman Yahudi di Palestina
Pada November, setelah Trump memenangkan pemilu, Abbas sempat meminta kesempatan untuk melakukan panggilan telepon, namun tidak mendapatkan tanggapan dari Gedung Putih. Gedung Putih juga tidak menanggapi surat Abbas yang dikirim pada Januari, yang menyatakan keprihatinannya terkait rencana pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel ke Yerusalem.
"Kami telah mengirim surat kepada mereka. Mereka bahkan tidak ingin repot-repot untuk menanggapi kami," kata Erekat. Sebaliknya, Trump telah berbicara dua kali dengan Netanyahu melalui sambungan telepon, pada 9 November dan 22 Januari. Netanyahu diundang Trump ke Gedung Putih pada 15 Februari.
Gedung Putih awal pekan ini membantah laporan sebuah surat kabar Israel, yang mengatakan pemerintah AS tidak berniat menjalin hubungan dengan Otoritas Palestina. Namun, Gedung Putih tidak menjelaskan kerja sama apa yang akan dijalin bersama Palestina.
Seorang pejabat AS mengatakan, pembicaraan dengan Palestina ditahan karena Trump belum memutuskan bagaimana menangani Palestina. Pejabat itu enggan disebutkan identitasnya karena ia tidak berwenang membahas masalah tersebut dengan wartawan.
Hubungan yang kuat dengan AS selama ini telah menjadi strategi Palestina untuk bisa memenangkan kemerdekaan penuh. AS berperan sebagai broker tunggal selama dua dekade terakhir, yang menengahi perundingan terkait pendirian negara Palestina di tanah yang direbut Israel pada 1967.
Abbas dan para penasihatnya berhati-hati untuk tidak memusuhi Trump dengan tidak memberikan pernyataan negatif di hadapan publik. Abbas hanya mendesak Trump untuk mengendalikan pembangunan permukiman terbaru Israel di tanah Palestina.
Mereka berharap ia akhirnya akan menghubungi, dengan alasan bahwa Trump perlu melibatkan mereka jika dia serius tentang negosiasi kesepakatan perdamaian Timur Tengah. "Kebijakan luar negeri pemerintahan AS belum jelas. Di samping adanya dukungan dari Israel, pemerintah AS tahu tidak ada yang dapat dilakukan tanpa Palestina," kata penasihat Abbas, Mohammed Ishtayeh.
Meskipun Israel telah melakukan langkah-langkah baru, termasuk mengajukan RUU untuk melegalkan permukiman Yahudi di Palestina, pejabat Palestina masih memiliki harapan terhadap kebijakan AS. Gedung Putih telah memberikan sikap kritis terhadap permukiman Israel dengan menyatakan pembangunan baru mungkin tidak akan bermanfaat bagi perdamaian.
Selain itu, Trump juga tampaknya tidak akan terburu-buru memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah itu dinilai bisa mengobarkan kemarahan dunia Muslim dan Arab.