Sabtu 11 Feb 2017 21:02 WIB

Dua Teori Ini Ungkap Mengapa Trump Hobi Mencaci

Presiden AS, Donald Trump
Foto: AP
Presiden AS, Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Belum juga sebulan berkuasa, Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung menyedot perhatian manusia dan media massa sejagat. Di antara yang paling disorot media massa adalah kebiasaan Trump menghardik, mencerca dan mengejek, termasuk kepada hakim dan sistem peradilan AS yang bukan wilayah kewenangannya.

Dia mencaci maki Hakim Judge James L Robart dari Mahkamah Negara Bagian Washington yang mengeluarkan putusan yang menangguhkan implementasi kebijakan Trump mengenai larangan untuk imigran tujuh negara Muslim. Pekan berikutnya, Trump meradang di Twitter setelah tiga hakim senior pada Pengadilan Tingkat Banding di San Francisco memperkuat putusan Hakim Robart.

"Saya tak ingin mengatakan pengadilan telah berlaku bias, jadi saya tak akan mengatakan pengadilan bias, dan kami belum memutuskan apa-apa. Tetapi pengadilan memang terlihat sangat politis," cerca Trump dalam laman New Yorker, dikutip Antara News.

Mengapa Trump begitu gampang menyerang pihak-pihak yang dianggapnya berseberangan dan bertentangan dengan kemauan dia? Menurut New Yorker, ada dua teori untuk menjawab pertanyaan itu.

Teori pertama, adalah teori yang dianut pakar-pakar kesehatan mental bahwa Trump mungkin mengidap gangguan kepribadian narsistis yang membuatnya tidak tahan untuk menyerang orang yang dianggap dia telah menyerangnya.

Menurut teori ini, ketika ada orang yang kritis atau bertentangan dengan Trump, maka Trump merasa mengalami cedera narsistis, yakni perasaan seluruh dirinya dipertanyakan orang lain. Perasaan ini mendorongnya menyerang orang lain tanpa peduli akibatnya.

John Gartner, psikoterapis dari Baltimore, meluncurkan petisi online yang menyebutkan Trump mengidap kecenderungan sakit mental yang akut sehingga secara kejiwaan tidak layak dan tidak kompeten menjalankan tugas-tugas Presiden Amerika Serikat. Petisi online ini sejauh ini telah ditandatangani oleh sekitar 20 ribu orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement