REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kejahatan kebencian di Inggris meningkat pasca-Brexit. Dilansir Aljazirah, Rabu (15/2), laporan kejahatan kebencian pada Juli-September 2016 meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Periode Juli-September 2015 mencatat 10.793 kejahatan. Jumlah ini meningkat di periode yang sama pada 2016 menjadi 14.295. Laporan Press Association itu menyebut 33 dari 44 pasukan kepolisian menyaksikannya langsung.
Otoritas di tiga wilayah mencatat lebih dari 1.000 insiden selama periode, seperti sekitar Manchester dan West Yorskshire. Sementara kepolisian metropolitan London mencatat 3.356 kasus. Polisi menduga jumlah yang sebenarnya lebih banyak.
Pemerintah Inggris sedang berupaya menangani masalah ini. Salah satunya dengan menyediakan layanan bantuan bagi korban. Menurut Juru bicara Home Office, peningkatan kejahatan kebencian terjadi karena retorika brexit.
"Kejahatan memiliki motif permusuhan dan prasangka terhadap satu kelompok masyarakat," kata mereka.
Meski demikian aksi ini tidak bisa ditoleransi sehingga pemerintah menyeru semua korban untuk melapor. Fenomena ini lebih sering dialami oleh migran-migran dari Eropa timur. Selama periode referendum Juni lalu, komunitas Polandia melaporkan sejumlah serangan, termasuk distribusi brosur yang menyebut mereka hewan hina.
Selain itu muncul banyak grafiti rasial di luar pusat kebudayaannya di London. Pada September, sekelompok orang menyerang seorang pria Polandia hingga ia harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Beberapa insiden berakhir mematikan. Seperti pada Desember tahun lalu, pria Polandia dipukuli hingga tewas. Keluarganya mengatakan pengeroyokan terjadi setelah pria itu terdengar berbicara bahasa Polandia.
Kampanye Brexit memang dinilai menyebarkan retorika parah tentang antimigran. Isu imigrasi juga jadi poin besar dalam keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa.