REPUBLIKA.CO.ID, DARWIN -- Ketika bel istirahat berbunyi di Darwin Middle School, suasana kacau segera terlihat di kantin sekolah itu. Bukan hanya itu, tampak pula pemandangan tak biasa dari murid yang menggunakan jaring rambut dan celemek juru masak.
Kantin sekolah ini merupakan bagian dari program pengajaran ilmu memasak dan keterampilan bisnis kepada para siswa SMP kelas 3 di salah satu sekolah di ibukota Northern Territory Australia. Kelas ini berlangsung empat hari seminggu di dapur sekolah - yang telah membuat sekitar 1.000 murid selama lebih dari 10 tahun memasak segala hidangan mulai dari sandwich (roti isi) hingga kari Thailand.
Kelas dikelola oleh Lorraine Kerrigan, yang mulai bosan dengan tinggi tekanan di dapur kuliner komersil. "Keindahan dari aktivitas ini adalah anak-anaklah yang melakukan semua kegiatan memasak," kata Lorraine sembari melepas tawa.
"Saya memberi mereka semua bahan-bahan dan memberitahu mereka apa yang harus dilakukan. Hal yang bagus untuk melihat anak-anak mendapatkan pengalaman langsung seperti ini," ujarnya.
Pada Senin, tempat masak Lorraine diawaki oleh Camryn Stacey, murid 14 tahun yang gemar memasak tar apel dan makanan penutup lainnya di rumah untuk ibunya. "Kami juga punya kelas gizi makanan di sekolah di mana kami memasak untuk diri kami sendiri, tetapi di sini kamu memasak untuk seluruh sekolah," kata Camryn.
Di meja masak lainnya, Ethan Muller dan Malakye Stapleton-Pinto mengiris roti croissant dan mengisinya dengan daging ham serta keju. "Pada awalnya, saya tak benar-benar ingin melakukannya [kursus ini] karena saya tahu saya harus bekerja di kantin, tapi ini ternyata sungguh mengejutkan. Saya pikir, atmosfer, teman-teman dan menjalin pertemanan barulah sebabnya. Dan membuat makanan baru itu sungguh menyenangkan," cerita Malakye.
Murid laki-laki berminat
Asisten kepala sekolah, Sue Neal mengatakan salah satu tren yang paling menarik sejak program ini diluncurkan pada tahun 2007 adalah jumlah siswa laki-laki yang memilih untuk berpartisipasi dalam program ini. "Saya telah melihat perubahan nyata, dari awalnya kelas yang semuanya perempuan menjadi kelas campuran dengan komposisi jenis kelamin 50-50, dengan anak laki-laki benar-benar menjadikan program ini sebagai pilihan pertama mereka," sebutnya.
Sue Neal merujuk fenomena ini sebagai "efek tayangan My Kitchen Rules", mendorong anak laki-laki untuk mencoba memasak di rumah. "Kini, memasak tak hanya dipandang sebagai kegiatan khusus perempuan yang tinggal di rumah," katanya.
"Anak laki-laki benar-benar menikmati waktu mereka di sana, mereka rajin, mereka terorganisasi, mereka tak lagi memerlukan para gadis untuk memberitahu mereka apa yang harus dilakukan. Mereka masuk ke sana dan menyelesaikannya," tutur Sue Neal.
Semua murid yang lulus dari kelas ini mendapat sertifikat I dalam bidang perhotelan, dan beberapa siswa lanjut ke program profesional lengkap serta memasak di sejumlah restoran Darwin.
Dibuka untuk bisnis
Setelah lemari es terisi dengan makanan segar, Lorraine dan dua asisten kafe lainnya mengisi piring saji dengan makanan panas harian yang dibuat bersama para siswa. Setelah bel sekolah penanda makan siang berbunyi, kafe dibanjiri oleh -apa yang disebut Lorraine sebagai -"kekacauan".
"Kafe menjadi sangat sibuk dan kadang-kadang pelanggan bisa sedikit kesal," ujar Malakye.
Ia menuturkan, "Tapi biasanya, mereka sangat berterima kasih dan mereka tahu kami mengorbankan waktu kami untuk melakukan hal ini, dua kali seminggu kerja saat makan siang atau jam istirahat." Dengan semua pendapatan kembali ke sekolah, Lorraine menyambut semua masukan untuk membantu siswa meningkatkan kemampuannya.
"Kadang-kadang mereka (siswa) terlalu banyak memberi bumbu atau banyak menabur lada dan bawang putih, atau roti bawang putihnya terlalu basah karena mereka mengolesinya dengan jumlah mentega yang cukup untuk menenggelamkan sebuah kapal," candanya.
Diterjemahkan Pukul 10:00 AEST 20 Februari 2017 oleh Nurina Savitri. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.