Selasa 07 Mar 2017 23:31 WIB

Revisi Perintah Eksekutif Trump Dinilai Masih Diskriminatif Terhadap Muslim

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
I am a Muslim Too: Muslimah Amerika tengah shalat di sela unjuk rasa menolak kebijakan Anti Imigran Trump di Lapang Times Square New York, AS, (19/2) waktu setempat.
Foto: Andres Kudacki/AP
I am a Muslim Too: Muslimah Amerika tengah shalat di sela unjuk rasa menolak kebijakan Anti Imigran Trump di Lapang Times Square New York, AS, (19/2) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Para advokat imigrasi menilai revisi perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump masih mengandung diskriminasi terhadap Muslim. Kebijakan juga gagal menghapus kekhawatiran yang ditimbulkan kebijakan pertama. Terlebih, para pakar legal menilai kebijakan baru lebih sulit ditantang di ranah legal.  

Demokrat dengan cepat menunjukkan sinyal penolakan. Mereka menyebutnya larangan yang mendiskriminasi. Pemimpin House of Representatives Democratic, Nancy Pelosi menilai kebijakan baru Trump tidak berubah banyak.

"Ia tidak mengubah tujuannya yang tidak bermoral, tidak konstitusional dan berbahaya," kata Pelosi.

Direktur Eksekutif Muslim Advocates, Farhana Khera menyebut pemerintah Trump malah menggandakan kefanatikan anti-Muslimnya.

Trump menghapus Irak dari daftar perintah eksekutif terbarunya, Senin (6/3). Sebagian besar isi kebijakan hasil revisi soal larangan perjalanan ke AS dari negara mayoritas Islam hampir sama.

Larangan tetap berlaku selama 90 hari dan efektif mulai 16 Maret mendatang. Enam negara menjadi sasaran dan semuanya ada di daftar sebelumnya, yaitu Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan, dan Yaman.

Pejabat Gedung Putih mengatakan penghapusan Irak dilakukan karena pemerintahnya bersedia bekerja sama baik dalam pemeriksaan visa maupun pembagian data. Perintah eksekutif terbaru akan berlaku pada pengajuan visa baru. Artinya, sekitar 60 ribu orang dengan visa tertahan karena perintah sebelumnya akan dianulir dan diizinkan masuk AS.

Selain itu, pengungsi yang telah lolos uji Departemen Luar Negeri juga dapat masuk AS. Ini berarti, AS telah mencabut larangan tidak terbatas bagi semua pengungsi Suriah.

Menteri Luar Negeri Rex Tillerson mengatakan kebijakan baru ini tetap bertujuan melindungi negeri. "Karena ancaman untuk keamanan kita terus berevolusi dan berubah, maka kebijakan hasil evaluasi akan jadi sistem yang kita andalkan," kata dia setelah Trump menandatangani perintah baru.

Jaksa Agung Washington, Bob Ferguson tidak melihat adanya perbedaan dari kebijakan sebelumnya. "Dengan membatalkan perintah eksekutif sebelumnya, Presiden Trump membuat satu hal sangat jelas bahwa larangan asli tetap dipertahankan, secara hukum, konstitusional dan moral," kata dia.

Kantornya akan memutuskan pekan ini, apakah akan memproses hukum kebijakan baru atau tidak. Meski dirasa sama, perintah eksekutif baru lebih kebal terhadap hukum. Fakta larangan hanya menyasar sedikit orang berarti sulit untuk mencari korban kebijakan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement