REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Ratna Tjiptorahardjo adalah pianis dan guru musik di Melbourne. Perempuan kelahiran Bandung tahun 1962 ini telah bertahan melewati berbagai cobaan dalam hidupnya, berkat keluarga dan musik. Ratna dibesarkan di tengah keluarga musikal. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang menjual alat-alat musik di kota Bandung.
"Sejak kecil saya sudah diperkenalkan dengan sejumlah musisi, hingga akhirnya memiliki ketertarikan ke dunia musik," kata Ratna kepada ABC Australia Plus.
"Saya sudah mulai mengajar pada usia 15 tahun. Tapi sebelum menjadi musisi, saya menyelesaikan dulu akademis saya, yakni ilmu ekonomi di Monash University," tambahnya.
Sebelumnya, ia juga mengenyam pendidikan sekolah menegah di Australia sebelumnya. "Setelah lulus dari Monash, saya kembali ke Indonesia, berkeluarga di Indonesia. Lalu lahirlah anak saya yang kebetulan autistik," ujarnya.
"Setelah anak saya berusia delapan tahun, saya bertekad mencarikan jalan agar ia bisa mendapat fasilitas terapi dan pendidikan. Satu-satunya negara lain yang saya kenal adalah Australia," katanya.
Ia melanjutkan pendidikannya, kali ini di bidang musik dengan mengambil jenjang master di University of Melbourne. "Sekarang ini saya mengajar piano dari rumah. Sebelumnya saya pernah mengajar musik juga di sekolah menengah atas, Melbourne Girls Grammar, selama beberapa tahun."
Ratna mengaku menjadi seorang pianis dan guru musik di negara yang 'asing' bukanlah tantangannya. "Tantangan sesungguhnya adalah saat saya ibu rumah tangga yang betul-betul juga mementingkan karier musik saya, bukan hanya duduk mengajar tetapi saya harus tetap terus berlatih supaya tetap up to date," ujarnya.
Kesibukannya dengan urusan domestik dan pekerjaan sebagai pianis dan guru musik membuatnya harus pandai dalam mengatur waktu. "Saya harus jadi sopir anak-anak ketika masih kecil, saya harus menjadi koki di rumah, saya harus antar mereka ke tempat les," kata Ratna.
"Saya senang juga lahir sebagai perempuan, karena saya merasa pada diri keperempuanan... itu bisa melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan."
Tonton wawancara Australia Plus Indonesia dengan Ratna Tjiptorahardjo lewat video berikut ini.
Berbagi cinta lewat musik
Bagi Ratna, musik adalah bahasa dunia. Ia merasa musik bisa menyampaikan berbagai ekspresi dengan teman dari berbagai latar belakang, termasuk dengan teman yang belum kenal sebelumnya.
Salah satu alasannya menjadi pianis adalah saat memainkan musik, orang-orang bisa menikmatinya dan menghargainya. Selain menurutnya juga, musik bisa membuat banyak orang senang dan gembira.
"Saya pernah menjadi relawan di perumahan orang-orang lanjut usia. Saya melakukan penampilan disitu, seminggu sekali sebelum jam makan siang. Musik menjadikan seperti terapi bagi mereka, buat mereka itu menjadi obat dan kesenangan tersendiri," ujarnya.
Ratna merasa tidak ada diskriminasi sebagai pianis perempuan di Australia. "Musik yang dibawakan perempuan justru bisa lebih jelas ekspresinya, karena kepekaan dan kehalusan yang dimiliki perempuan," katanya.
Musik dan keluarga menjadi penyemangat hidup
Ratna mengaku akhir tahun 2007 adalah masa tersulit dalam hidupnya. Ia kehilangan sahabatnya, seorang musisi asal Jerman yang disusul dengan kematian ibu mertuanya. Ia pun dinyatakan memiliki kanker dalam tubuhnya.
"...ada hal-lain lain juga yang sepertinya memacu dan membuat saya menghadapi kanker," kata Ratna.
Kondisi ini menyebabkan Ratna sempat vakum selama setahun. "Saya tidak mengajar dan berlatih [piano] karena latihan membutuhkan tenaga dan kondisi yang fit, serta konsentrasi yang cukup tinggi...," ucapnya.
Tapi Ratna mengaku banyak mendapatkan pelajaran hidup dari musik, yang bukan sekedar nada dan irama. Ratna selalu mencari tahu lebih jauh soal musik, khususnya musik klasik yang didengarnya. Ia menggali informasi dalam keadaan apa komposer menuliskan lagu dan apa yang ingin disampaikannya.
"Schubert [komposer klasik dari Austria] harus menjual satu komposisi untuk sepotong roti. Ada pula Messiaen [komposer klasik asal Perancis] yang masuk penjara dan disinilah ia bertemu musisi-musisi cukup handal lainnya dan menulis komposisi Quartet for the End of Time," jelasnya.
"Begitulah seorang yang menderita masih menghasilkan sesuatu yang besar, itulah pegangan saya ketika memainkan musik. Saya juga memikirkan keluarga saya, saya memikirkan keberadaan mereka terlebih dahulu daripada saya," tambahnya.
Simak kisah-kisah inspirasi dari perempuan lainnya melalui situs australiaplus.com/indonesian dan bergabung bersama komunitas Australia Plus Indonesia di Facebook.com/AustraliaPlusIndonesia.