Jumat 10 Mar 2017 07:07 WIB

Kisah Satu-satunya Pandai Besi Perempuan di Jalur Gaza

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ani Nursalikah
Perempuan Gaza pencari nafkah Ayesha Ibrahim (37 tahun) dan putrinya (15) bergiliran menempa besi panas dengan palu.
Foto: Mersiha Gadzo/Aljazirah
Perempuan Gaza pencari nafkah Ayesha Ibrahim (37 tahun) dan putrinya (15) bergiliran menempa besi panas dengan palu.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Mendobrak batas-batas tradisi, makin banyak perempuan di Jalur Gaza yang bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Konflik berkepanjangan membuat banyak perempuan terpaksa melakukan pekerjaan kaum laki-laki untuk menyambung hidup.

Di bawah tenda darurat di jalan berpasir tiga kilometer dari pelabuhan Gaza, Ayesha Ibrahim (37 tahun) dan putrinya (15 tahun) bergiliran menempa besi panas dengan palu. Putrinya yang lain memompa pasokan oksigen ke dalam api kecil supaya batang-batang besi itu tetap panas.

"Kondisi kami sangat keras, sangat sulit. Tapi saya tidak punya pilihan kecuali terus bekerja untuk anak-anak saya. Saya tidak ingin anak-anak saya menjadi seperti saya dan bekerja seperti yang saya lakukan. Saya ingin masa depan yang lebih baik bagi mereka," kata Ayesha, dilansir dari Aljazirah, Jumat (10/3).

Ayesha Ibrahim, satu-satunya pandai besi perempuan di Gaza, harus menghidupi tujuh anaknya. Selama 20 tahun terakhir, dia dan suaminya telah mengumpulkan potongan logam dari jalan-jalan dan puing reruntuhan rumah yang hancur terkena bom.

Potongan logam itu nantinya mereka ubah menjadi pisau, tungku masak terbuka, jangkar, atau barang-barang lainnya untuk dijual ke pasar. Butuh waktu sekitar tiga hari untuk membuat satu barang. Satu barang biasanya dijual seharga enam shekel di pasar.

Baca: Para Perempuan Perkasa di Gaza

Percik api beterbangan dari besi yang terbakar. Tangan Ayesha seringkali sampai bengkak dan punggungnya kesakitan. Ini pekerjaan yang berat, terutama karena ia sedang hamil delapan bulan. Tapi, ia tak punya banyak pilihan di tengah kondisi Jalur Gaza yang tak menentu.

Ayesha, yang ayahnya juga seorang pandai besi, menghabiskan masa kecilnya menjual barang-barang buatan ayahnya di pasar. Ia menikah ketika berusia 15 tahun. Keluarganya hidup di rumah kontrakan dan sang pemilik mengizinkannya tinggal cuma-cuma.

Memiliki rumah sendiri tetaplah sebuah mimpi yang jauh tak tergapai. Suami Ayesha kini sedang menjalani perawatan saraf setelah mengalami cedera, suatu malam ketika sepotong besi 150 kg jatuh di tangannya.

"Itu adalah malam yang mengerikan. Kami tidak mampu untuk memanggil ambulans. Untungnya, seorang pria dari jalan menawarkan bantuan dan membawanya ke dalam mobil," ujar Ayesha.

Di rumah sakit, dokter menyuruh suaminya untuk tinggal barang semalam. Mereka khawatir cedera itu mungkin dapat terkena infeksi. Namun, Ayesha tak punya uang untuk membayar biaya penginapan hingga datang bantuan dari donatur.

Ini adalah perjuangan yang harus dia lalui setiap hari untuk memastikan makanan tetap ada di atas meja. Meski lebih dari separuh penduduk Gaza bergantung pada bantuan pangan PBB, keluarga Ibrahim tidak memenuhi syarat karena tidak dapat membuktikan status mereka sebagai pengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement