Selasa 14 Mar 2017 08:15 WIB

Perjuangan Bertahan Hidup Keluarga Somalia di Tengah Kekeringan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Seorang perempuan Somalia, Rabu (8/3), menjaga kambingnya di wilayah gurun terpencil dekat Bandar Beyla, negara bagian Puntland, Somalia. Somalia menyatakan kekeringan sebagai bencana nasional.
Foto: AP Photo/Ben Curtis
Seorang perempuan Somalia, Rabu (8/3), menjaga kambingnya di wilayah gurun terpencil dekat Bandar Beyla, negara bagian Puntland, Somalia. Somalia menyatakan kekeringan sebagai bencana nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, MOGADISHU -- Mata cekung dan tubuh ceking jadi pemandangan umum di Somalia. Salah satu negara tanduk Afrika ini telah disahkan PBB sebagai salah satu negara dengan krisis kemanusiaan terparah saat ini.

Para ibu di sana dilema, anak mana yang hari ini harus diberi makan di tengah pasokan makanan yang sangat minim dan tidak mencukupi seluruh keluarga. Semua anggota keluarga kelaparan tanpa terkecuali.

"Jika hanya ada sedikit makanan, kami memberikannya pada yang paling membutuhkan, si bungsu," kata Fatuma Abdulle.

Satu ketika, ia melihat putra sembilan tahunnya memberikan porsi makanannya pada si bungsu. Saat itu ia merasakan campuran perasaan antara bangga dan sedih.

"Ia telah berkorban, saya bangga," kata Abdulle sambil memeluk putranya. Mereka saling menjaga satu sama lain, agar yang kuat bisa lebih bertahan untuk yang muda.

Abdulle adalah ibu dengan tujuh anak. Ia baru tiba di kamp penampungan ibu kota Mogadishu dua pekan lalu. Ia bersama ratusan orang kelaparan lainnya tinggal di tenda terbatas bikinan pemerintah untuk pasokan makanan yang lebih terjamin.

Abdulle berharap bisa mendapat lebih banyak makanan untuk anaknya yang lain. Di tempat tinggalnya dahulu, mereka beternak kambing. Namun tak ada yang bertahan dengan kekeringan. Rumput-rumput menghilang dan sumber air tinggal lubangnya saja.

Tidak hanya kekeringan, kondisi diperparah konflik sipil yang tidak kunjung usai. Sebagian besar penduduk yang tidak bisa bertahan memilih berjalan kaki mengarungi perjalanan ratusan mil untuk mencapai kamp penampungan pemerintah.

Dilansir Huffington Post, banyak ibu-ibu yang terpaksa berjalan lebih dari 100 mil bersama anak mereka demi mencari makanan, air, dan tempat berlindung. Seorang ibu mengatakan putri tiga tahunnya menderita demam dan menangis sepanjang jalan. Tonjolan tulang pipi dan tulang berbalut kulit cukup menunjukkan penderitaan mereka.

Sebagian anak lain terpaksa tidak sekolah karena membantu keluarga mencari makanan. Menurut data Oganisasi Kesehatan Dunia, lebih dari 363 ribu anak menderita malnutrisi akut. Sekitar 70 ribu anak lainnya menderita malnutrisi terparah hingga butuh bantuan kehidupan.

Menurut PBB, salah satu wilayah pertanian, Bay mengalami penurunan panen hingga lebih dari 40 persen. Para petani di sana bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.

Perdana Menteri Somalia, Hassan Ali Khaire mengumumkan pada Sabtu pekan lalu, sedikitnya 110 orang di sana meninggal dalam 48 jam. Mereka menderita karena kelaparan dan diare.

Kisah lain datang dari Mohamed Ali (50 tahun), ayah dari tujuh anak asal kota Baidoa yang juga penghuni kamp. Ia dan istrinya terpaksa tidak makan demi anak-anak mereka. Usia tua membuat mereka semakin lemah, ditambah karena tidak mendapat pasokan energi yang cukup.

"Kami membiarkan anak-anak makan terdahulu, biasanya tidak ada yang tersisa karena makanannya tidak cukup," kata Ali di kamp tempat penampungan. Kisahnya diulang oleh ratusan ribu keluarga lain di seluruh negeri.

Ahmed Osman (34) ditemui Aljazirah saat membawa putra tiga tahunnya ke pusat medis dekat desa Dhudo, Puntland. Wilayah ini adalah salah satu wilayah semi-otonomi di Somalia.

Osman menggendong putranya selama tiga jam penuh perjalanan dengan jalan kaki untuk bisa memeriksakan si anak. Mohamed menderita demam tinggi, muntah-muntah dan diare akut sejak delapan hari lalu.

"Istri dan tiga anak saya yang lain ada di rumah bersama kambing-kambing yang masih hidup," kata dia. Rumah yang ia maksud adalah tenda yang jauh dari kata layak.

Klinik di Dhudo adalah fasilitas kecil pemerintah lokal yang didukung kelompok bantuan Save the Children. Seorang perawat, Bahija Abdullahi, mengatakan, ada dua sampai tiga anak yang datang untuk berobat per harinya.

Mereka juga biasa patroli ke daerah-daerah terpencil untuk menjemput anak-anak sakit. Diare dan demam adalah penyakit yang paling sering ditemui. Biasanya mereka hanya mampu memberikan oralit dan pasta kacang tinggi kalori untuk menjaga nutrisi anak.

Malnutrisi akut sering kali tidak bisa ditangani langsung karena butuh perawatan khusus. Anak-anak ini biasanya ditransfer ke tiga rumah sakit di Puntland yang terletak di Garowe, Bosaso, dan Galkayo. Perlu ratusan kilometer untuk mencapainya.

sumber : AP/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement