Rabu 15 Mar 2017 13:11 WIB

Cara Kaum Perempuan Atasi Islamofobia di Australia

Dosen Studi Islam Zuleyha Keskin sebagai pembicara tamu pada pertemuan perempuan Muslim dan Non Muslim di Lismore, NSW, Australia.
Foto: ABC
Dosen Studi Islam Zuleyha Keskin sebagai pembicara tamu pada pertemuan perempuan Muslim dan Non Muslim di Lismore, NSW, Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW SOUTH WALES -- Ketika kaum perempuan dari Kota Lismore di utara New South Wales, Australia mendengar adanya pelemparan telur dan puntung rokok ke warga Muslim setempat, mereka langsung memutuskan menggelar pertemuan untuk memerangi Islamofobia dalam masyarakat.

Sekitar 100 peserta hadir dalam acara bertajuk "Mariam's Day: Perempuan Muslim dan Non-Muslim Berbicara, Membangun Tradisi dan Hidup Bersama". Mereka berbagi cerita dan mengajukan pertanyaan dalam upaya mendapatkan pemahaman yang lebih baik satu sama lain.

Pembicara tamu dan mantan wali kota Lismore Jenny Dowell mengatakan dia sendiri menyaksikan meningkatnya sentimen anti-Muslim di kalangan masyarakat dalam dua tahun terakhir. "Kejadian terburuk dialami seorang wanita yang menggendong bayinya di luar kediaman mereka, melepas keberangkatan seseorang. Bayi itu tiba-tiba menangis dan si ibu menyadari ada telur mentah mengotori pakaiannya," kata Dowell.

"Bayi itu kena lemparan telur di kepalanya oleh seseorang dari dalam mobil yang lewat sembari meneriakkan sesuatu," tambah mantan wali kota Lismore.

"Hal ini terjadi sejak meningkatnya Islamofobia. Hal itu membuatku muak," tegasnya.

"Saya ingin meyakinkan orang: 'mohon jangan menilai Lismore dari insiden ini'," ujar Dowel seraya menambahkan, "Ini tidak mengejutkan karena saya kira terjadi dimana-mana."

Panel of women
Kaum perempuan Muslim dan non-Muslim bertemu di Lismore untuk mengatasi Islamofobia. Dari kiri: Zuleyha Keskin, Jenny Dowell dan Rashida Joseph.

ABC North Coast: Samantha Turnbull

Pembicara dalam kegiatan itu, Dr Zuleyha Keskin yang juga dosen Studi Islam di Charles Sturt University, mengatakan ada perasaan aneh saat tiba di Lismore dengan mengenakan jilbab. "Sangat berbeda dengan ketika berada di Sydney atau Melbourne yang lebih multikultural," katanya.

"Di sini, saya sangat merasakannya. Saya ke toko dan tidak ada orang lain yang mengenakan jilbab. Saya pikir semua orang berlatar belakang Anglo-Saxon," ujarnya.

"Benar-benar terasa seperti minoritas dan orang-orang memandangi saya. Saya tidak berpikir pandangan mereka itu rasial tapi 'oh, ada sesuatu yang berbeda'," tambah Dr Keskin.

Sementara itu warga Kota Lismore yang juga seorang Muslimah Rashida Joseph mengatakan diskriminasi terburuk yang dialaminya terjadi tak lama setelah serangan World Trade Centre pada 2001. "Beberapa hari setelah 9/11 saya sedang mengambil uang dari ATM dan seorang pria mendorong kepalaku ke ATM. Kepala saya terluka," katanya.

"Saya juga mengalami dilempari rokok menyala ke mobil saya di lampu merah," katanya.

"Saya tiba di tempat kerja suatu hari - saya bekerja dengan pengungsi yang beragama Islam - dan menemukan kotoran dioleskan di pintu depan," kata Rashida Joseph.

Rashida Joseph portrait
Warga Lismore, Rashida Joseph, mengaku pernah mengalami diskriminasi setelah peristiwa 11 September 2001, namun secara umum Northern Rivers dikenal sebagai daerah yang inklusif.

"Namun demikian, saya juga mendapatkan dukungan luar biasa dari warga non-Muslim, sehingga kita memang harus menempatkan pada proporsinya. Kami bersama-sama di dalamnya," tambahnya.

Meskipun pernah mengalami diskriminasi, namun para pembicara pertemuan itu merasa optimistis ketika warga seperti di Lismore bersatu menggelar acara seperti Mariam's Day. Keskin berharap bisa menepis sejumlah mitos tentang wanita Muslim.

"Begitu banyak mitos, misalnya perempuan dalam Islam itu tertindas," katanya.

"Bagi saya, Islam justru memberdayakan perempuan. Islam mendorong saya mendapatkan pendidikan dan menyatakan pikiran saya," tambahnya.

"Mengenakan jilbab bukan penindasan, justru memberdayakan karena hal itu merupakan sesuatu yang saya putuskan untuk lakukan demi agama saya," ujarnya.

"Ini merupakan upaya menjauh dari fokus fisik ke fokus spiritual, internal dan karakter," kata Dr Keskin.

Diterbitkan Pukul 10:30 AEST 14 Maret 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/wisata-nad-budaya/cara-kaum-perempuan-atasi-islamophobia-di-australia/8352052

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement