REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Kepala Gereja Anglikan Australia menyatakan malu dan prihatin atas laporan lembaga pemerintah, yang menyatakan sekitar 1.100 pengakuan pelecehan seksual terjadi di gereja tersebut selama 35 tahun.
Laporan disiarkan pada Jumat (17/3) itu mengungkapkan sebagian besar korban baru berusia 11 tahun saat dilecehkan. Sebulan lalu, penyelidikan sama menemukan Gereja Katolik Australia membayar 212 juta dolar AS sebagai imbalan terhadap ribuan korban kejahatan serupa sejak 1980.
Pada Jumat, Komisi Kerajaan untuk Pelecehan terhadap Anak-anak mengatakan, dari pengakuan, tercatat 569 pelaku berprofesi pendeta, guru, dan relawan. Sejumlah 133 terduga pelaku lain belum diketahui perannya di gereja.
Uskup Agung Melbourne Philip Freier mengaku secara personal merasa malu dan sedih melihat bagaimana gereja membungkam para korban. "Gereja Anglikan sangat terguncang dan prihatin oleh kegagalan kami sendiri dalam menangani pelecehan seksual terhadap anak di Gereja," kata Freier dalam pernyataan tertulis.
Baca: Uskup Australia Mundur Setelah Tiga Tahun Tangani Pelecehan Anak
Komisi kerajaan adalah sebuah tim penyelidikan yang mempunyai wewenang terbesar di Australia. Mereka berwenang memaksa para saksi untuk memberikan bukti dan bisa merekomendasikan hukuman.
Komisi Kerajaan untuk Pelecehan Anak-anak pernah menemukan fakta tujuh persen pendeta Katolik yang bekerja di Australia antara 1950 sampai 2010 diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Namun, hanya sedikit di antara mereka menjalani persidangan.
Dalam laporan sebelumnya, komisi tersebut menemukan 1.082 keluhan pelecehan seksual terhadap anak-anak antara 1980 sampai 2015. Ada 1.115 insiden yang terjadi saat korban berada dalam asuhan Gereja Anglikan.
Gereja Anglikan telah membayar 31 juta dolar Australia kepada 459 orang yang melaporkan keluhan. "Fakta ini menunjukkan kebijakan kami tidak berhasil mencegah para pelaku untuk bekerja bagi gereja, baik sebagai pendeta, guru, atau relawan," kata Sekretaris Umum Gereja, Anne Hywood.
"Kami sangat malu terhadap bagaimana kami memperlakukan para penyintas," kata dia.
Komisi sama dijadwalkan kembali melaporkan temuannya kepada pemerintah pada Desember.