REPUBLIKA.CO.ID, GENEVA -- Krisis kelaparan yang dihasilkan kombinasi peperangan dan kekeringan telah menimbulkan perkembangan terjadinya krisis pengungsi di Sudan Selatan. Badan Pengungsi PBB menilai semua itu terjadi cuma berselang delapan bulan setelah perang meletus.
Juru bicara UNCHR Babar Barlock mengatakan, tingkat perpindahan orang yang terjadi di Sudan belakangan semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, mereka cuma akan pindah ke daerah yang notabene lebih miskin, dan memberi beban baru yang dirasa tidak mungkin di atasi.
"Jumlah perpindahan dari Sudan Selatan ke daerah sekitar sekarang 1,6 juta orang. Tingkat perpiindahan baru-baru ini mengkhawatirkan," kata juru bicara UNCHR Babar Baloch, seperti dilansir Anadolu Agency, Senin (20/3).
Ia mengindikasikan kalau pengungsi yang berasal dari negara-negara kecil kini melarikan diri ke Sudan, Ehtiopia, Kenya, Kongo dan Afrika Tengah. Baloch menekankan, hampir setengah dari itu telah meyebrang ke Uganda yang situasinya sekarang kritis.
Balock memperkirakan, ada sekitar 2.000 orang dari Sudan Selatan yang tiba di Uganda setiap hari, dan puncaknya terjadi pada Februari yang setiap harinya lebih dari 6.000 orang. Pada bulan Maret, 2.800 orang datang setiap harinya ke Uganda.
"Fasilitas transit di Uganda yang dibentuk untuk menangani pengungsi yang baru tiba dari Sudah Selatan sudah kewalahan, hujan tak membantu dan menambah penderitaan," ujar Balock.
Kekacauan di Sudah Selatan terjadi pada 2013, ketika Presiden Salva Kiir menuduh Wakilnya Riek Machar mencoba melakukan kudeta. Konflik tiga tahun itu telah menewaskan puluhan ribu jiwa dan memaksa hampir tiga juta orang meninggalkan rumah mereka.