REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Ratusan umat Buddha garis keras turun ke jalan di Kota Sittwe, Myanmar, Senin (20/3). Mereka memprotes rencana pemerintah memberikan kewarganegaraan bagi kelompok minoritas Muslim Rohingya di Rakhine State Myanmar.
Menurut Associated Press via Bangkok Post, demonstrasi itu dipimpin oleh Partai Arakan Nasional (ANP) yang merupakan partai dominan di Rakhine. Di sana telah terjadi kekerasan agama sejak 2012 yang memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan tempat asalnya. Lebih dari 120 ribu Muslim Rohingya tinggal di tempat penampungan sementara bagi pengungsi internal (IDP) sejak pergolakan itu terjadi.
"Kami ingin pemerintah tetap mengacu pada undang-undang kewarganegaraan tahun 1982. Dan kami tidak bisa mengizinkan pemerintah memberikan kewarganegaraan bagi migran ilegal," ujar koordinator aksi, Aung Htay, Senin. (Baca Juga: Suu Kyi: Pemerintah Sepakat Mengakui Rohingya).
Seperti diketahui, undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 melarang Myanmar untuk menjadikan etnis minoritas sebagai bagian dari bangsanya. Protes tersebut menanggapi saran dari Komisi Penasihat Rakhine yang mengusulkan solusi untuk masalah di Rakhine. Yaitu agar Pemerintah Myanmar mempertimbangkan kembali program yang pernah gagal untuk memverifikasi agar Rohingya mendapatkan kewarganegaraan.
Senada dengan itu, panel sembilan anggota PBB yang dipimpin mantan sekjen PBB Kofi Annan menyarankan agar Pemerintah Myanmar membiarkan kelompok minoritas Rohingya kembali ke tempat tinggalnya di Rakhine Barat. Selama ini, komitmen pemimpin Myanmar San Suu Kyi mengenai pergolakan Rohingya telah dipertanyakan dunia. Suu Kyi sering memilih diam atas kekerasan komunal yang terjadi. Terlebih ia terlihat beberapa kali membela militer yang membantai warga Rohingya.
Namun, pada Kamis lalu, beberapa jam setelah rekomendasi panel PBB itu muncul, Pemerintah Myanmar menyatakan dukungannya kepada rekomendasi itu. Pihaknya juga akan segera melaksanakan rekomendasi dari Komisi Penasihat dan panel PBB.
"Pemerintah sepakat dengan rekomendasi dan percaya ini akan berdampak positif pada proses rekonsilisi nasional dan pembangunan," demikian pernyataan dari pemerintah.
Etnis Rohingya dianggap sebagai kelompok imigran yang tidak diterima di Bangladesh. Oleh karena itu, sekitar 1,1 juta penduduk Rohingya ditolak kewarganegaraannya di Myanmar. Dengan begitu, etnis Myanmar itu juga dibatasi dalam segala hal, termasuk akses pendidikan, kebebasan bergerak, mendapatkan diskriminasi, bahkan sampai penyitaan properti secara sewenang-wenang.
Dua tahun lalu, pemerintah telah menyita kartu putih milik warga etnis Rohingya. Itu merupakan bagian dari rencana pengusiran mereka dari Rakhine dan sebagai upaya pemerintah untuk menjalankan undang-undang kewarganegaraan pada 1982.