REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Myanmar menolak keputusan Dewan HAM PBB untuk menyelidiki petugas keamanan, Sabtu (25/3). Hal itu terkait tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan terhadap Muslim Rohingya.
Padahal, badan yang berbasis di Jenewa itu telah sepakat sehari sebelumnya untuk mengirim misi pencari fakta ke Asia Tenggaram, dengan fokus di Rakhine. Operasi militer dilakukan pada Oktober tahun lalu usai insiden tewasnya 9 petugas keamanan Myanmar. Operasi militer itu telah memaksa puluhan ribuan masyarakat Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh. Penyelidik PBB menduga, pelarian itu dikarenakan intimitasi mengerikan dari petugas keamanan yang dikabarkan melakukan sejumlah kejahatan kemanusiaan.
Banyaknya laporan yang masuk telah memberi tekanan besar kepada pemerintah Myanmar, termasuk kepada peraih Nobel Aung San Suu Kyi. Pemerintahannya dinilai tidak memiliki kontrol atas angkatan bersenjata, ditambah keputusan untuk keluar dari resolusi secara keseluruhan.
"Pembentukan misi pencari fakta internasional akan membuat lebih banyak pengorbanan, bukan menyelesaikan masalah saat ini," tulis Kementerian Luar Negeri Myanmar, seperti dilansir Gulf Today, Ahad (26/3).
Pemerintah Myanmar mengaku tengah melakukan penyelidikan di dalam negeri sendiri, tentang kemungkinan kejahatan di Rakhine. Namun, Dewan HAM PBB menyangsikan badan yang ternyata dipimpin Wapres Myint Swe, yang dianggap ompong dan tidak memadai.