REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebanyak 19 negara bagian Amerika Serikat (AS) telah mengumumkan rancangan undang-undang yang akan mengekang kebebasan berekspresi dan membatasi hak untuk protes. Peraturan ini keluar sejak pemilihan Donald Trump sebagai presiden.
Pakar independen di PBB, Maina Kiai dan David Kaye, menganggap peraturan itu sangat mengkhawatirkan dan tidak demokratis. Menurut keduanya, RUU itu tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.
"Tren ini juga mengancam akan membahayakan salah satu pilar konstitusi Amerika Serikat yakni kebebasan berbicara," ujar pegiat yang fokus pada kebebasan berkumpul secara damai ini.
Kekhawatiran akan kebebasan berbicara di AS semakin meningkat setelah adanya hubungan antagonistik antara Trump dengan media terkemuka AS. Trump menyebut media sebagai musuh rakyat Amerika, karena telah memberitakan kebijakan yang salah dalam pemerintahannya.
Dorongan adanya peraturan yang lebih mengikat terkait kebebasan berbicara telah muncul setelah lawan-lawan Trump melakukan protes publik terhadap kebijakan-kebijakan bos properti itu. Di antaranya termasuk kebijakan mengenai imigrasi, aborsi, dan perubahan iklim.
“Dari gerakan Black Lives Matter, gerakan lingkungan dari penduduk asli Amerika yang menentang pipa minyak Dakota Access, hingga aksi Women's March, individu dan organisasi di seluruh Amerika telah melakukan aksi protes damai,” kata Kiai dan Kaye.
Menurut keduanya, protes merupakan hak dasar masyarakat. Namun, RUU yang dikeluarkan negara-negara pendukung Partai Republik, seperti Indiana, Arkansas, Florida, Georgia, Indiana, Iowa, Michigan, dan Missouri telah berusaha menghentikan hak mereka.
Gerakan sipil yang dikenal sebagai Black Lives Matter adalah gerakan yang dipicu oleh serangkaian penembakan laki-laki kulit hitam oleh polisi kulit putih AS yang memicu protes nasional.