REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Jerman memimpin Eropa dalam memerangi ujaran kebencian dan berita palsu dengan mengancam perusahaan-perusahaan raksasa media sosial (medsos) dengan denda 50 juta euro (Rp7 triliun) jika mereka gagal menghapus kiriman-kiriman ofensif dalam medsos.
Kabinet Kanselir Angela Merkel mengambil langkah tegas setelah menilai perusahaan-perusahaan, seperti Twitter dan Facebook, tidak banyak berbuat dalam menghapus konten yang melanggar hukum Jerman.
"Kejahatan karena kebencian yang tidak secara efektif diperangi dan diperkarakan, memesankan bahaya besar bagi kohesi damai dalam masyarakat bebas, terbuka dan demokratis," kata pemerintahan Merkel.
Sejak kedatangan sekitar satu juta pencari suaka ke Jerman mulai 2015, volume ujaran kebencian xenofobis telah membludak secara online.
Terusik oleh kiriman-kiriman menghasut, pemerintah Jerman berulang kali memperingatkan para raksasa internet untuk lebih mengawasi konten dalam jejaring mereka.
Mereka memang sudah berjanji pada 2015 untuk menghapus komentar-komentar kebencian dalam jangka waktu 24 jam, namun Menteri Kehakiman Heiko Maas menyebut langkah mereka belum cukup.
Seraya mengutip hasil penelitian pemerintah, Maas menyebut Twitter hanya menghapus satu persen konten bermasalah dari penggunanya, sedangkan Facebook 30 persen. Platform berbagi video Youtube malah jauh lebih baik, karena 90 persen menghapus konten-konten hasutan dan kebencian.
Pemerintah Jerman juga membidik konten-konten ilegal seperti pornografi anak dan terorisme.
Perusahaan-perusahaan internet diberi waktu 24 jam untuk menghapus kiriman yang terang-terangan melanggar hukum Jerman setelah konten-konten itu dibenderai (flagged) oleh para penggunanya.
Konten ofensif lainnya akan dihapus dalam waktu tujuh hari setelah dilaporkan menyalahi aturan. Jika tak menuruti aturan ini para eksekutif perusahaan media sosial akan didenda lima juta euro.
Menurut hukum Jerman siapa pun yang menyanggah holocaust (pembasmian etnis Yahudi), menghasut kebencian dan ujaran rasis adalah melanggar hukum, demikian AFP.