Sabtu 08 Apr 2017 01:10 WIB

Anak-Anak Palestina yang Jadi Korban Kebrutalan Israel

Rep: kamra dikarma/ Red: Budi Raharjo
Dua anak membawa bendera Palestina.
Foto: REUTERS/Mohamad Torokman
Dua anak membawa bendera Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID,YERUSALEM -- Sore itu, pada awal Desember 2016, Ahmed Mahmoud, seorang anak Palestina berusia 15 tahun sedang berjalan di sebuah gang sempit bersama ibu dan bibinya menuju jalan utama di Issawiya, Yerusalem Timur. Ia tengah berbahagia karena akan dibelikan sepatu baru sebagai hadiah telah mendapatkan nilai bagus di sekolah.

Namun ketika sedang berjalan, sekolompok remaja tiba-tiba berlari berhamburan ke arah Ahmed dan ibunya. Ia segera menyadari bahwa sekelompok remaja tersebut pasti baru saja terlibat bentrokan dengan pasukan perbatasan Israel.

Ahmed terpikir untuk mengurungkan niatnya membeli sepatu baru hari itu. "Saya ingin pulang, tapi tiba-tiba sebuah peluru berlapis karet mengantam wajah saya," katanya seperti dilaporkan laman Aljazirah.

Seketika Ahmed jatuh ke tanah. Darah mengucur dari mata kanannya dan ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. "Bibi saya mulai berteriak. Ia berteriak kepada sepupu saya yang tinggal di dekat lingkungan itu untuk membantu," ungkapnya.

Akibat kejadian tersebut, Ahmed harus menerima 17 jahitan di sekitar mata kanannya. Lubang matanya retak dan retinanya rusak. Tim dokter mengatakan kepada keluarga Ahmed bahwa pengelihatannya tidak akan pulih kembali.

Keluarga Ahmed memang tak tinggal diam. Ayah Ahmed sempat mengajukan keluhan dan protes terkait penembakan anaknya kepada satuan penyelidikan internal polisi Israel. Sepekan kemudian, rumah Ahmed justru digeledah oleh kepolisian dan intelijen Israel.

Ketika itu Ahmed sedang tidak berada di rumah. Kepolisian Israel akhirnya hanya mengambil dua pasang celana berwarna hitam. Satu celana milik Ahmed dan satu lainnya milik saudaranya.

Karena tidak tahu motif penggeledahan tersebut, Ahmed dan ayahnya memutuskan mendatangi kantor polisi hari itu. Alih-alih meminta keterangan, Ahmed justru ditangkap dan segera diinterogasi oleh kepolisian Israel.

Adapun pertanyaan yang diajukan kepada Ahmed adalah perihal kasus pelemparan batu kepada kepolisian Israel pada November 2016. Dalam interogasi, kepolisian Israel menunjukkan sebuah foto yang menggambarkan seorang remaja bertopeng dan mengenakan celana hitam. "Mereka ingin saya mengatakan bahwa orang dalam foto itu adalah saya. Tapi saya mengatakan kepada mereka bahwa itu bukan saya," tuturnya.

Kendati telah memberikan keterangan yang jujur, namun Ahmed justru semakin diintimidasi dan disiksa. "Mereka mulai berteriak, 'siapa dalam topeng ini?' dan saya jawab tidak tahu. Itu bukan saya. Mereka akhirnya mulai memukul perut saya dan mendorong kursi tempat saya duduk," katanya.

Ahmed pun jatuh tersungkur ke lantai. Belum puas dengan dorongan dan pukulan, sang interogator pun menendang tubuh Ahmed yang sudah terkulai di lantai. "Itu sangat brutal. Dia sangat kejam," ucap Ahmed.

Keesokan harinya, Ahmed muncul di pengadilan di mana jaksa memperoleh dua hari tambahan untuk menggali keterangan darinya. Namun setelah empat hari ditahan di penjara, jaksa gagal membuktikan keterlibatan Ahmed dalam kasus pelemparan batu kepada pasukan Israel. Hakim akhirnya memerintahkan pembebasannya dengan jaminan.

Kelompok hak asasi manusia Defense for Children International (DCI) Palestina mengungkapkan Ahmed Mahmoud adalah satu di antara 82 anak-anak Palestina yang terluka dan cedera akibat serangan pasukan Israel pada 2016 lalu. Adapun luka dan cedera yang dialami sebagian besar karena peluru tajam berlapis karet milik pasukan Israel.

DCI Palestina mengatakan 2016 merupakan tahun paling mematikan bagi anak-anak Israel yang tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Setidaknya 32 anak-anak terbunuh oleh pasukan Israel dan pasukan keamanan swasta sepanjang tahun tersebut.

24 di antara korban tewas tersebut sempat dituding Israel terlibat kasus penyeranyan. Sementara sisanya tewas selama fase protes dan bentrokan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki Israel. Dua anak di antaranya tewas akibat hantaman peluru karet seperti yang dialami Ahmed.

Pengacara dan petugas advokasi DCI Palestina Brad Parker mengatakan pasukan Isreal yang berada di Tepi Barat dan Yerusalem Timur memang sudah tak ragu lagi untuk menyerang warga Palestina, termasuk anak-anak.

"Ketika meningkatkan kekerasan yang terjadi pada Oktober 2015, perubahan ini, dikombinasikan dengan impunitas sistemik, memungkinkan pasukan Israel menerapkan kebijakan menembak untuk membunuh. Yang dalam beberapa kasus mungkin pembunuhan itu di luar hukum atau disengaja," tutur Parker menerangkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres tengah mempersiapkan laporan tahunan perdananya. Sejak dilantik, Guterres telah didesak oleh kelompok hak asasi manusia internasional untuk mencantumkan militer Israel dalam daftar hitam pelanggar hak-hak anak.

Koalisi terkemukan hak asasi manusia dan organisasi kemanusiaan internasional, The Watchlist on Children and Armed Conflict, telah merekomendasikan agar pasukan Israel masuk dalam daftar hitam tersebut. Karena mereka dianggap telah membunuh dan membuat anak-anak Palestina cacat sepanjang 2016.

Petugas advokasi The Watchlist on Children and Armed Conflict, Dragica Markovica, mengatakan desakan terhadap Guterres selaku Sekjen PBB terkait kasus anak-anak Palestina memang penting dilakukan. Mengingat sebelumnya Israel dan Amerika Serikat sempat melobi dan mengancam PBB bila memasukan Israel dalam daftar hitam tersebut. Ancaman dilakukan dengan mengatakan bahwa kedua negara tersebut tidak akan lagi mengalirkan dana untuk PBB.

"Mengapa 2017 sangat penting? Karena dalam dua tahun terakhir muncul politisasi terang-terangan soal proses daftar hitam ini. Saat ini Sekjen PBB memiliki (reputasi) bersih karena berada di tahun pertama jabatannya," ujar Markovica.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement