Sabtu 08 Apr 2017 06:33 WIB

Cerita Nestapa Pengungsi Palestina di Libanon

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Budi Raharjo
Ahmed Y Husseiramin, Executive Manager Human Association for Reliefe Development dari Libanon (kanan)
Foto: Gumanti Awaliyah
Ahmed Y Husseiramin, Executive Manager Human Association for Reliefe Development dari Libanon (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ahmed Y Husseiramin, Executive Manager Human Association for Reliefe Development dari Libanon didampingi Komisi Nasional untuk Rakyat Palestina (KNPR) berkunjung ke Harian Republika. Kedatangan tersebut dimaksudkan untuk membangun kerja sama dengan media Republika dalam mengangkat berita dan derita Pengungsi Palestina di Libanon.

“Pertama, saya ucapkan terima kasih kepada Republika. Ingin mneyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya pada jurnalis karena perjuangannya luar biasanya, bisa mengantarkan realita warga palestina khususnya. Umumnya seluruh umat,” ujar Ahmed saat membuka obrolan.

Ahmed terus bercerita tentang keadaan warga Palestina yang ada mengungsi di Libanon. Menurut Ahmed,  warga palestina yang banyak pindah ke Libanon adalah warga Palestina yanga da di utara. Dimulai sejak tahun 1948, warga Palestina pindah juga ke Suriah.

“Jumlah pasti rakyat Palestina yang ada di Libanon belum diketahui, karena hingga kini belum ada sensius yang secara serius mendalami ini. Namun, ada sekitar 400 ribu warga Paletistina yang ada di Libanon,” ujar Ahmed, berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.

Selanjutnya, Ahmed menerangkan, adanya regulasi pemerintah Libanon yang semakin kondisi semakin buruk. Pertama, peraturan dalam mencari pekerjaan, para pengungsi Palestina hanya diperkenankan untuk mendapat pekerjaan yang  kasar. Sperti buruh, pekerja bangunan dan lain-lain.

Kedua, terus Ahmed, warga Palestina tidak diperkenankan hak memiliki, baik itu kepemilikan rumah, atau barang lain. Regulasi ketiga, warga Palestina tidak diperkenakan untuk membangun rumah atau bangunan lain. “Namun, ada syarat-syarat khusus jika ada yang tetap ingin membangun, yaitu dengan sogokan, sembunyi-sembunyi, atau mau menjadi mata-mata,” kata Ahmed.

Regulasi terakhir, yaitu tentang keamanan dan situasi camp pengungsian yang dijaga super ketat oleh pasukan bersenjata dengan sistem satu pintu. “Dengan ketatnya pengamanan, semakin mempersulit masuknya pasokan bantuan yang hendak diberikan, jika mau keluar dari Camp, perlu biaya minimal 15 ribu dolar,” ujar Ahmed.

Hingga kini tercatat pengangguran warga Palestina di Libanon sangat tinggi, mencapai 60-65 persen. Ahmed menyayangkan, semakin kesini, bantuan untuk Palestina makin menurun. Ahmed sebagai salah satu pengungsi dari Palestina, sangat berharap terhadap jurnalis untuk berjuang, dan terus memberi perhatian kepada derita dan pilu umat Islam, khususnya Palestina yang mengungsi di Libanon.

“Dengan bantuan moral dan fisik akan bisa terus memelihara harapan para pengungsi yang ada di Negeri orang lain, yang mudah-mudahan bisa kembali ke tanah air kami,” tegas Ahmed.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement