Senin 10 Apr 2017 20:51 WIB

UNICEF Berupaya Lepaskan Tahanan Anak Rohingya di Myanmar

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Muslim Rohingya menangis setelah ditangkap oleh Penjaga Perbatasan Bangladesh di perbatasan Cox Bazar, Bangladesh, (21/11).
Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain
Muslim Rohingya menangis setelah ditangkap oleh Penjaga Perbatasan Bangladesh di perbatasan Cox Bazar, Bangladesh, (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- UNICEF tengah berupaya membebaskan anak-anak Rohingya yang ditahan dalam operasi militer yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar terhadap minoritas Muslim, Senin (10/4). Mengutip dokumen polisi Myanmar, Reuters bulan lalu mengungkapkan, anak-anak berusia sekitar 10 tahun berada di antara ratusan warga Rohingya yang ditahan atas tuduhan bergaul dengan pemberontak.

Menurut dokumen yang diungkap pada 7 Maret lalu itu, sebanyak 13 remaja bersama 400 warga lainnya ditangkap sejak 9 Oktober lalu. Saat itu, pemberontak dilaporkan menyerang tiga pos polisi di perbatasan negara bagian Rakhine dengan Bangladesh.

Serangan oleh kelompok pemberontak tersebut memicu krisis terbesar dalam kepemimpinan Aung San Suu Kyi di Myanmar. Krisis memaksa lebih dari 75 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari operasi keras militer Myanmar.

"Masalah ini dibahas dalam pertemuan tingkat tinggi dan UNICEF merasa terdorong untuk berbagi keprihatinan dan mengambil tindakan," kata kata Wakil UNICEF untuk Myanmar, Bertrand Bainvel.

Wakil Direktur Eksekutif UNICEF, Justin Forsyth, telah membahas masalah anak-anak dengan Suu Kyi dan kepala militer Myanmar, Min Aung Hlaing, selama kunjungannya ke negara itu. Namun, tidak ada informasi yang jelas mengenai kapan anak-anak bisa dibebaskan.

"Ada beberapa anak yang ditahan di penjara, jadi kasus itulah yang kami angkat. Anak-anak yang ditahan itu merupakan masalah bagi kami. Faktanya, jika kami tidak membereskan masalah ini, khususnya bagi komunitas tersebut, maka masalah ini akan menghantui mereka," kata Forsyth, dikutip Asian Correspondent.

Sebuah laporan PBB yang dikeluarkan awal tahun ini mengatakan, pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Rohingya selama operasi militer melawan para pemberontak. Hal itu dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Meski demikian, militer Myanmar membantah tuduhan itu. Menurut mereka, mereka terlibat dalam sebuah operasi militer yang sah.

Suu Kyi yang pernah menerima hadiah Nobel Perdamaian juga memberikan bantahan yang sama. Ia mengatakan tidak ada pembersihan etnis yang sedang terjadi di negaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement