REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Hampir sepertiga dari bayi yang lahir sangat prematur mengembangkan kondisi paru-paru kronis yang dapat menyebabkan kematian dan penderitaan selama bertahun-tahun.
Tapi sebuah studi dari Universitas Monash dan Rumah Sakit Anak Monash di Melbourne, telah menemukan cara untuk mendeteksi kondisi ini pada saat kelahiran, yang dapat membantu dokter lebih baik mengelola dan mengobati penyakit ini. Seorang ibu dari bayi dengan kondisi yang melemahkan ini mengatakan temuan ini menawarkan harapan dan bisa mengubah kualitas hidup bayi yang sakit dan juga keluarganya.
Anak laki-laki kembar dari Sonya Georgievski lahir prematur pada saat berusia sekitar 13 pekan karena komplikasi.
"Dunia Anda seakan-akan berbalik. Anda pada dasarnya, seperti berada di kegelapan dan bertanya-tanya apa gerangan yang akan terjadi," katanya.
Dan kondisinya semakin parah. Anak kembarnya mengembangkan Displasia Bronkopulmoner atau BPD, yakni kondisi paru-paru kronis yang mempengaruhi sekitar 55 persen dari bayi yang lahir prematur 15 pekan. Hal ini menyebabkan masalah pada pernapasan dan dapat menjalani rawat inap, kerentanan terhadap infeksi serta kebutuhan untuk oksigen di rumah.
Anak kembar laki-laki Georgievski ini sekarang berusia hampir tiga tahun tetapi salah satu dari anak kembarnya, Xavier, beresiko dirawat inap hanya karena flu, sementara Oliver kemungkinan mengembangkan asma.
Hipertensi pulmonal
Lebih dari 40 persen dari bayi dengan BPD juga dapat menderita apa yang dikenal sebagai Hipertensi Paru (PH) kronis atau tekanan darah tinggi di paru-paru. Komplikasi ini sangat meningkatkan risiko kematian dan kebutuhan untuk mendapatkan perawatan intensif.
Putri dari Michelle Matar, Shifra yang lahir ketika baru berusia 23 pekan memiliki komplikasi ini dan nyaris meregang nyawa. "Sepertinya saya sempat dipanggil hingga empat kali untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi dia terus beruntung [mampu terus bertahan hidup]," katanya.
"Saya bahkan tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaan saya ketika itu. Hari-hari yang saya lalu, saya seperti melayang."
"[Ini] hanya perasaan tidak berdaya ketika Anda sebagai seorang ibu dan tidak bisa melakukan apa-apa lagi."
Martar menuturkan anaknya Shifra menghabiskan waktu 13 bulan dengan dukungan oksigen di rumah sakit dan dua bulan dengan dukungan oksigen di rumah.
'Mengurangi resiko kematian'
Profesor Arvind Sehgal, seorang konsultan neonatal di Rumah Sakit Anak Monash, merawat Shifra dan juga telah memimpin sebuah studi mengenai kondisi Hipertensi Paru yang dialaminya, yang menemukan cara yang dapat secara dramatis meningkatkan peluang dan kualitas hidup bayi dengan kondisi tersebut.
Cara-cara tersebut melibatkan pengujian plasenta dari 56 bayi prematur. "Studi ini memberikan petunjuk dari plasenta," katanya.
"Begitu bayi lahir, kita mendapatkan petunjuk di kalangan bayi yang berisiko tinggi, mana yang salah satunya mungkin mengembangkan komplikasi ini nantinya."
Profesor Sehgal mengatakan temuan ini telah mengubah kemampuan dokter untuk mengobati kondisi tersebut.
"Jadi, [kami] menggunakan informasi ini untuk mengubah strategi pengelolaan untuk mengurangi risiko, termasuk cara yang berbeda dalam mendukung ventilasi dan ada beberapa obat khusus yang dapat diberikan dan lebih efektif sedini mungkin," katanya.
"Apa yang kita ingin capai adalah mengurangi risiko kematian dan jika dimungkinkan dapat mengurangi lamanya waktu tinggal di rumah sakit. Kemudian kita dapat meningkatkan kualitas hidup keluarga dan juga menghemat uang dalam hal sumber daya perawatan kesehatan."
Studi ini akan dipublikasikan secara internasional bulan depan.
Diterjemahkan pada pukul 13.35 WIB, 16/4/2017 oleh Iffah Nur Arifah. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.