REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James Mattis memperingatkan bahwa Suriah kemungkinan besar masih memiliki senjata kimia. Ia mengatakan sangat besar potensi penggunaan senjata berbahaya itu digunakan oleh pemerintah negara itu.
"Tidak ada keraguan dalam benak seluruh masyarakat di dunia bahwa Suriah masih memiliki dan mempertahankan senjata kimia yang melanggar ketentuan dan kesepakatan internasional," ujar Mattis dalam sebuah konferensi pers di Tel Aviv, Israel, dilansir CBS News, Jumat (21/4).
Ia juga mengatakan bahwa sumber intelijen Negeri Paman Sam mengetahui berapa banyak jumlah senjata kimia berbahaya yang masih disimpan oleh rezim pemerintah yang dipimpin Presiden Bashar Al Assad. Namun, Mattis menolak untuk menyebutkan secara rinci laporan intelijen tersebut.
"Saya dapat mengatakan bahwa mereka (Pemerintah Suriah) masih mempertahankan beberapa senjata kimia untuk digunakan sebagai alat pertahanan ini tentu harus benar-benar diatasi," jelas Mattis.
Penggunaan senjata kimia diduga kembali diluncurkan oleh Pemerintah Suriah pada 4 April lalu. Dalam sebuah serangan udara di salah satu kota yang dikuasai oposisi negara itu, tepatnya di Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib setidaknya lebih dari 80 orang tewas.
Dari laporan, korban yang terkena serangan udara menjadi kesulitan bernapas dan kejang-kejang. Bahkan, beberapa di antaranya mengeluarkan busa dari mulut, sebagai dampak dari dugaan diluncurkannya racun kimia.
AS menuding Pemerintah Suriah berada di balik serangan tersebut. Salah satu alasannya adalah sebuah penyelidikan yang dilakukan PBB bersama dengan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) pada Oktober 2016 lalu bahwa mereka menemukan bukti militer Suriah menggunakan bom klorin. Mereka melakukan beberapa kali serangan itu sepanjang konflik di negara itu sejak 2011 lalu, namun hal itu berlangsung sekitar pada 2014 dan 2015 lalu.
Assad kemudian diduga terkait langsung dengan perintah penggunaan senjata kimia. Ia disebut oleh penyelidik internasional bertanggung jawab bersama dengan saudara laki-lakinya karena melakukan salah satu jenis kejahatan perang itu.
Penggunaan senjata kimia dilarang di bawah hukum internasional dan termasuk dalam kategori kejahatan perang. Penyelidikan yang dilakukan saat ini di Suriah tidak memiliki kekuatan hukum. Suriah juga bukan merupakan anggota dari Pengadilan kriminal Internasional (ICC). Namun, dugaan kejahatan perang dapat dirujuk ke ICC melalui Dewan Keamanan PBB.
Pada 2013 lalu Pemerintah Suriah pernah membuat kesepakatan untuk menghancurkan seluruh senjata kimia yang negara itu miliki. Perjanjian untuk melakukan tindakan itu ditengahi oleh Rusia dan AS.