Rabu 26 Apr 2017 16:09 WIB

ASEAN akan Melunak Saat Atasi Sengketa Laut Cina Selatan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Winda Destiana Putri
Konflik Laut Cina Selatan.
Foto: AP
Konflik Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA - Negara-negara Asia Tenggara akan bersikap lebih lunak dari biasanya terkait sengketa Laut Cina Selatan pada pertemuan KTT ASEAN ke-30 pada Sabtu (29/4) di Manila. Menurut draf pernyataan KTT ASEAN yang dilihat Reuters, pertemuan itu tidak akan membahas mengenai militerisasi atau pembangunan pulau yang dilakukan Cina di wilayah itu.

Meskipun beberapa pemimpin ASEAN mengungkapkan keprihatinan serius mengenai aktivitas Cina di Laut Cina Selatan yang disengketakan, draf pernyataan itu menunjukkan sikap ASEAN yang lebih lembut. Terlebih Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang menjadi tuan rumah KTT ASEAN tahun ini, telah mempererat hubungan dengan Cina untuk kemajuan bisnisnya.

Namun, seorang diplomat dari sekretariat ASEAN mengatakan kepada Reuters, bahwa para pejabat masih mengerjakan draf pernyataan tersebut. Masih ada kemungkinan pernyataan untuk berubah sebelum dikeluarkan pada pertemuan KTT ASEAN pada Sabtu (29/4).

Cina mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan, yang menjadi jalur perdagangan barang senilai 5 triliun dolar AS per tahun. Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengklaim wilayah di perairan strategis tersebut.

Pertemuan KTT ASEAN terkait sengketa Laut Cina Selatan biasanya tidak menyebutkan nama Cina, yang telah memperluas tujuh pulau buatannya di Spratly, termasuk membuat landasan pacu dan situs peluncuran rudal. Pernyataan KTT ASEAN tahun lalu di Laos hanya menekankan pentingnya non-militerisasi dan pengendalian diri dalam melakukan aktivitas di Laut Cina Selatan, termasuk reklamasi lahan.

Menurut Asia Maritime Transparency Initiative, Cina akan menyimpan jet tempur di tiga pulau terumbu karangnya. Cina menegaskan, hal itu dilakukan atas tujuan pertahanan di wilayah perairan yang menjadi kedaulatannya.

Filipina menyatakan kekesalannya terhadap Cina dua bulan yang lalu, ketika Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, mengatakan dia dan rekan-rekan ASEAN merasa sangat tidak nyaman akan adanya sistem senjata Cina di Laut Cina Setalan. Ia menganggap Cina telah melakukan militerisasi di wilayah itu.

Mantan Menteri Luar Negeri Filipina, Alberto del Rosario, pada Selasa (25/4) mengatakan penyelenggaraan KTT ASEAN di Filipina merupakan kesempatan bagi Duterte untuk membahas militerisasi Cina. "Kita harus memanfaatkan kepemimpinan kita untuk bisa menegakkan supremasi hukum. Kita akan kehilangan banyak pengaruh jika melewatkan kesempatan itu," kata Rosario.

Seorang mantan pejabat pemerintah Filipina justru menyamakan Filipina dengan Kamboja, yang dituduh telah mendukung Cina dan menentang keputusan-keputusan konsensus ASEAN yang seharusnya tidak menguntungkan Beijing. "Semua orang sekarang menonton Filipina, kami berharap Cina mengirim pesannya ke negara-negara Asia Tenggara melalui Duterte. Kami sekarang bertingkah seperti orang Cina," kata pejabat yang berbicara secara anonim itu, dilansir Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement