REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kandidat presiden Prancis Emmanuel Macron disebut cenderung melakukan kampanye pemilihan umum (pemilu) putaran kedua dengan lebih lambat. Dari sebuah jajak pendapat, ia terlihat selangkah lebih mundur dibanding saingannya, kandidat dari partai sayap kanan, Front Nasional, Marine Le Pen.
Pria berusia 39 tahun itu juga dikatakan melakukan beberapa kesalahan dalam berinteraksi dengan calon pemilih. Sejak ia dan Le Pen lolos untuk melanjutkan pemilu putaran dua pada Ahad (23/4) lalu, Macron dinilai tidak dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat Prancis.
Hal itu terungkap dalam Jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Elabe. Survei melihat satu dari dua orang menganggap Le Pen lebih berhasil mendapat kepercayaan warga melalui kampanye pemilu putaran dua. Salah satu contoh adalah dalam kunjungan kedua kandidat ke pabrik pengering gandum Whirpool di Amiens.
Saat itu, mantan menteri ekonomi tersebut mendapat ejekan dari pekerja pabrik yang sedang melakukan aksi mogok dan menuntut perusahaan. Sementara, Le Pen yang secara tidak diduga juga datang ke pabrik itu beberapa jam sebelum Macron, justru mendapat sambutan baik.
Kemudian, dalam kunjungan ke sebuah restoran pascapengumuman Macron lolos pemilu putaran dua, sebuah insiden membuat kesempatan Le Pen untuk mengambil hati warga jadi lebih besar.
Saat itu, Macron dianggap sebagai anggota elite politik yang sombong karena memilih untuk tidak berinteraksi langsung dengan orang-orang di sana. Kejadian itu tidak hanya dikritik oleh pendukung Le Pen, namun juga banyak pihak yang sebelumnya diprediksi berada di belakang Macron.
Jajak pendapat yang dikeluarkan lembaga survei itu juga mengatakan ada kemungkinan, kandidat termuda presiden Prancis itu merasa kemenangan sudah berada di tangannya, sehingga kampanye yang ia lakukan tidak lagi maksimal.
Macron memperoleh suara terbanyak dalam pemilu putaran pertama, yakni mendapat suara sebanyak 24,01 persen. Sementara itu, Le Pen hanya menerima 21,3 persen suara.
Selama ini, Macron dikenal sebagai seorang pebisnis yang juga mantan menteri keuangan Prancis. Ia juga disebut memiliki ideologi sayap tengah yang memimpin pergerakan politik independen En Marche atau perubahan.