Jumat 28 Apr 2017 07:38 WIB

Myanmar Relokasi Muslim Rohingya ke Desa yang Mirip Kamp Pengungsi

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Teknaf, kota perbatasan Bangladesh.
Foto: Andrew Biraj/Reuters
Pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Teknaf, kota perbatasan Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengkritik rencana pemerintah Myanmar untuk memukimkan kembali ribuan Muslim Rohingya ke desa-desa yang mirip dengan kamp pengungsi. Dalam sebuah dokumen advokasi setebal tiga halaman tertanggal 25 April, UNHCR mengatakan hal itu berisiko memicu ketegangan baru.

Sekitar 75 ribu penduduk Rohingya melarikan diri dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan di Rakhine. Sedikitnya 1.500 rumah di beberapa desa dibakar dan ribuan penduduk lainnya bersembunyi di hutan dan ladang.

Beberapa dari mereka yang melarikan diri sekarang telah kembali dan membangun tempat penampungan sementara. Namun pihak berwenang melarang mereka membangun kembali rumah mereka secara permanen dengan alasan keamanan.

Sebagai gantinya, pihak berwenang telah merencanakan untuk memindahkan sekitar 1.152 keluarga dari 13 dusun, ke desa-desa yang lebih besar dan lebih mudah dikelola. Akan tetapi, UNHCR memperingatkan rencana tersebut dapat menciptakan ketegangan lebih lanjut.

"Berdasarkan informasi yang tersedia, kekhawatiran menjadi perhatian kami terhadap penduduk desa yang terkena dampak. UNHCR menekankan pentingnya pengungsi untuk kembali ke tempat asalnya dan memiliki akses ke sumber penghidupan mereka sebelumnya," ujar juru bicara UNHCR Myanmar, Andrew Dusek, dilansir Reuters.

Dusek mengatakan, UNHCR memahami bahwa rencana tersebut masih dalam tahap rancangan dan mungkin belum selesai dirundingkan. Namun Menteri Luar Negeri Wilayah Rakhine Tin Maung Swe mengatakan pemerintah daerah telah mulai menerapkannya.

Tin Maung Swe menambahkan, relokasi dilakukan untuk kepentingan penduduk, karena desa baru jaraknya akan lebih dekat dengan pusat layanan pemerintah. Sementara desa-desa Rohingya yang ada di Rakhine utara disusun secara acak sehingga tidak efektif.

"Jika desa-desa tidak sistematis, mereka tidak akan berkembang dan akan sulit membangun rumah sakit, sekolah, dan kantor polisi. Kita juga akan kesulitan untuk mengurus keamanan di wilayah ini," kata Tin Maung Swe.

Menurut dokumen UNHCR, pemerintah Myanmar telah mulai membuka lahan untuk pembangunan desa baru. Masing-masing keluarga direncanakan akan mendapatkan tanah seluas 220 meter persegi dan diberi 150 dolar AS untuk membangun rumah.

Warga mengatakan kepada staf PBB bahwa mereka takut kehilangan akses ke lahan pertanian dan tempat memancing milik mereka. Mereka merasa khawatir akan terjebak di dalam desa yang dinilai akan mirip seperti kamp pengungsi itu.

"Relokasi paksa ke desa tidak akan mencapai stabilisasi di wilayah ini," kata dokumen UNHCR.

Sekitar 120 ribu warga Rohingya tinggal di kamp-kamp pengungsi internal di Rakhine. Mereka bergantung pada bantuan lembaga kemanusiaan internasional, sejak kekerasan komunal terjadi pada 2012.

Lima orang yang rumahnya telah hancur pada November lalu menggambarkan kondisi kehidupan mereka sejak kekerasan mereda. Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran tentang rencana relokasi pemerintah.

"Desa di sini telah benar-benar berubah karena semua rumah dibakar," kata seorang pria berusia 32 tahun di desa Yae Khat Chaung Gwa Son, yang berbicara secara anonim.

Ia mengatakan, sementara daerahnya saat ini telah relatif damai. Pos pemeriksaan dan jam malam mulai jam 9 malam tetap berlaku. Namun, tentara secara teratur berpatroli di dekat desa, sehingga sulit bagi mereka untuk mencapai ladang dan tambak udang atau klinik kesehatan di daerah tersebut.

Penduduk desa juga menuturkan mereka khawatir permukiman baru akan terlalu kecil untuk banyak keluarga. Satu keluarga banyak yang beranggotakan 30 orang atau lebih.

"Pemerintah mengatakan kepada kami bahwa rencana mereka adalah agar semua penduduk desa dapat berkumpul di satu tempat, di satu desa yang dekat jalan utama. Tapi kami ingin tinggal di tempat asal seperti sebelumnya," kata seorang guru sekolah di desa Dar Gyi Zar, yang juga berbicara secara anonim.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement