Jumat 05 May 2017 17:19 WIB

Kekhawatiran Muslim dalam Pemilu Prancis

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Kandidat presiden sayap kanan Prancis Marine Le Pen.
Foto: AP Photo/Kamil Zihnioglu
Kandidat presiden sayap kanan Prancis Marine Le Pen.

REPUBLIKA.CO.ID, Hanane Charrihi memandang foto sang ibu, Fatima di apartemen miliknya. Ia terdiam beberapa saat, hingga akhirnya mengatakan bahwa telah kehilangan salah satu orang yang paling ia cintai di hidupnya.

Fatima menjadi salah satu korban dalam serangan teror yang terjadi di Nice 2016 lalu. Saat itu, ia bersama dengan cucunya sedang berjalan-jalan menikmati pemandangan kembang api dari perayaan Bastille Day. 

Tanpa disangka, sebuah truk tiba-tiba datang dan menghantam kerumunan orang-orang. Fatima disebut menjadi orang pertama yang terkena kendaraan maut tersebut, hingga akhirnya harus meregang nyawa.   "Kematian ibu saya menunjukkan bahwa semua orang di Prancis membutuhkan toleransi lebih besar dari sebelumnya," ujar Hanane dilansir seperti dilansir the Guardian, Jumat (5/5).

Aksi teror pada 14 Juli 2016 lalu itu dikaitkan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sebanyak 86 orang tewas akibat tertabrak kendaraan besar tersebut dan 300 lainnya terluka.

Sejak saat itu, keluarga Charrihi rentan mendapatkan ejekan dari orang-orang di sekitar lingkungan mereka. Hanane yang mengenakan jilbab, sebagai salah satu tanda bahwa dirinya adalah Muslim tak jarang disebut sebagai teroris.

"Bahkan, hal itu terjadi saat saya sedang meratapi ibu saya yang tergeletak di jalan setelah tertabrak. Mereka tak peduli bahwa ia yang berjilbab juga menjadi korban," jelas Hanane.

Ia juga menuturkan bahwa ada seorang pria yang saat itu mengatakan tidak ingin melihat orang-orang seperti dirinya di Prancis. Perempuan berusia 27 tahun itu hanya bisa menahan amarah karena meski Muslim juga menjadi korban, namun tak toleransi dari warga lain.

Hal itulah yang membuat kekhawatiran Hanane terhadap kondisi Prancis. Isu keagamaan yang dikaitkan dengan terorisme bahkan dijadikan sebagai alat kampanye oleh sejumlah politikus sayap kanan negara itu, khususnya menjelang pemilu yang digelar tahun ini.

Salah satu calon presiden Prancis yang maju dalam pemilu putaran kedua atau penentuan akhir di negara itu, Marine Le Pen selama ini dianggap menentang segala bentuk multikulturisme. Ia yang berasal dari partai sayap kanan Front Nasional dengan tegas melihat seluruh simbol dan atribut agama menentang sistem sekularisme yang diterapkan negara itu. 

Pada awal kampanye, satu-satunya kandidat peempuan dalam pemilu Prancis itu mendapat banyak dukungan dengan sikap kerasnya. Bahkan, pada 2015 lalu ia pernah membandingkan umat Islam yang melakukan ibadah shalat di jalanan umum, terlihat sama seperti gerakan Nazi.

"Nampaknya mereka hanya fokus memperdebatkan identitas warga yang beragam. Itu hanya membuang waktu dibandingkan dengan memikirkan masalah lainnya di Prancis, seperti tingkat pengangguran yang tinggi," kata perempuan berusia 27 tahun itu.

Tak hanya Hanane, seorang warga lainnya juga mengkahwatirkan gagasan Le Pen yang mungkin dimanfaatkan untuk meraih suara pemilih dalam pemilu Prancis. Ia adalah Ezzedine Fahem yang mengatakan perpecahan antara anggota masyarakat di negara itu dapat terjadi semakin mendalam.  "Bagi saya, Le Pen seperti menargetkan Muslim, orang-orang yang beragama, dan imigran yang berada di Prancis, ini sangat mengerikan," jelas Fahem.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement