REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Penyelidik dewan hak asasi manusia PBB, Agnes Callamard mengatakan akan kembali ke Filipina untuk berbicara dengan pemerintah negara itu. Ia mengaku tetap berkomitmen melakukan kunjungan secara resmi, namun dengan syarat tertentu.
Callamard sebelumnya membuat Pemerintah Filipina geram karena melakukan kunjungan tak terduga ke negara itu pada Jumat (5/5). Ia dianggap datang tanpa izin dan menyalahi aturan yang ditetapkan PBB, jika ada seorang penyelidik atau pelapor khusus yang berkunjung.
Pada Desember 2016, Pemerintah Filipina mengundang Callamard melakukan kunjungan resmi. Namun, hal itu dibatalkan karena perempuan yang juga menjabat sebagai pelapor khusus PBB untuk kasus pembunuhan di luar hukum itu tak dapat menerima syarat yang ditetapkan oleh Presiden Rodrigo Duterte.
Saat itu, Duterte ingin melakukan perdebatan dengan Callamard. Ia mengatakan hal itu harus dilakukan, sebelum memberi izin penyelidikan atas tuduhan pelanggaran HAM dilakukan di Filipina.
Mantan wali kota Davao itu juga menginginkan agar Callamard bersumpah sebelum menjawab sejumlah pertanyaan dari Pemerintah Filipina. Duterte menekankan dirinya terbuka jika penyelidik internasional ingin melakukan investigasi di negaranya. Tetapi, ia juga bersumpah akan mempermalukan mereka.
"Saya berkomitmen melanjutkan dialog dengan Pemerintah Filipina dan melakukan kunjungan resmi, namun dengan syarat Presiden Duterte tidak lagi menginginkan perdebatan," ujar Callamard, dilansir Asian Correspondent, Ahad (7/5).
Dalam kedatangan tidak resmi Callamard ke Filipina, ia juga menjadi pembicara di sebuah forum universitas. Di sana, ia membahas berbagai hal terkait dengan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM. Salah satu contoh utama diyakini adalah dilakukan pemerintah negara itu.
Duterte selama ini telah mendapat kritik atas perang melawan narkotika yang ia terapkan sejak menjabat sebagai pemimpin negara itu pada 30 Juni 2016. Dalam kebijakannya, ia mengizinkan polisi dan aparat keamanan untuk melakukan tindakan keras terhadap orang-orang terkait kejahatan itu.
Sejak saat itu, sebanyak 9.000 orang diperkirakan tewas. Banyak pemimpin negara dan kelompok aktivis HAM yang menyebut bahwa mantan wali kota Davao itu justru telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Hal itu karena banyak diantara mereka yang kehilangan nyawa belum terbukti secara hukum sepenuhnya bersalah.