Senin 08 May 2017 09:17 WIB

5 Alasan Emmanuel Macron Bisa Menang di Pemilihan Presiden Prancis

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden terpilih Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP
Presiden terpilih Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Setahun lalu, Emmanuel Macron masih menjabat sebagai menteri dari salah satu presiden Prancis yang paling tidak populer sepanjang sejarah. Namun, saat ini, di usia 39 tahun, dia telah memenangkan pemilu presiden Prancis dan berhasil mengalahkan partai arus utama dari sayap kiri dan kanan.

Emmanuel Macron berhasil meraih suara 65 persen atas rivalnya, Marine Le Pen dari sayap ekstrem kanan, dalam pemungutan suara Ahad (7/5). Kehadiran Macron telah memicu guncangan baru dalam dunia politik Prancis.

Bagaimana ia bisa memenangkan pemilu? Berikut lima alasannya, dilansir dari BBC.

1. Faktor keberuntungan

Tidak diragukan lagi, Macron dibawa ke arah kemenangan pemilu Presiden Prancis sebagian oleh angin keberuntungan. Salah satu penyebabnya adalah skandal publik yang menyingkirkan pesaing-pesaingnya, termasuk kandidat sayap kanan moderat François Fillon dan kandidat sosialis Benoît Hamon.

"Dia sangat beruntung, karena dia menghadapi situasi yang sama sekali tidak terduga," kata Marc-Olivier Padis, dari kelompok think tank Terra Nova yang berbasis di Paris.

2. Macron sangat cerdik

Keberuntungan saja tentu sulit membawa seseorang untuk dapat meraih kemenangan, tapi Macron sangat cerdik. Macron bisa saja bergabung dengan partai sosialis, tetapi dia menyadari setelah bertahun-tahun berkuasa dan mendapatkan penilaian publik yang buruk, suara partai tersebut akan sulit didengar.

"Dia bisa meramalkan peluang, saat tidak ada orang lain yang bisa melakukannya," kata Padis.

Dia kemudian melihat gerakan politik yang bermunculan di negara lain di Eropa, seperti Podemos di Spanyol, Gerakan Bintang Lima di Italia. Ia melihat tidak ada kekuatan politik yang setara, yang dapat mengubah permainan politik, di Prancis.

Pada April 2016, dia mendirikan gerakan kekuatan rakyat, En Marche!. Empat bulan kemudian dia mundur dari pemerintahan Presiden François Hollande.

3. Dia mencoba sesuatu yang baru di Prancis

Setelah mendirikan En Marche!, dia mengambil kesempatan dari kampanye mantan presiden AS Barack Obama dalam pemilu 2008. Usaha besarnya yang pertama adalah menyelenggarakan Grande Marche (perkumpulan besar) dan memobilisasi jajaran aktivis En Marche! yang energik tetapi belum berpengalaman.

"Kampanye tersebut menggunakan algoritma dari sebuah firma politik yang bekerja sama dengan mereka, yang juga mengurusi kampanye Obama pada 2008, untuk mengidentifikasi distrik dan wilayah yang paling mewakili Prancis secara keseluruhan. Mereka mengirim orang untuk mengetuk 300 ribu pintu," kata seorang jurnalis lepas di Paris, Emily Schultheis.

Para aktivis tidak hanya membagikan selebaran, mereka juga melakukan 25 ribu wawancara mendalam sekitar 15 menit dengan para pemilih di seluruh negeri. Informasi itu dimasukkan ke dalam database besar yang membantu menginformasikan prioritas dan kebijakan kampanye.

4. Dia membawa citra positif

Sebagai tokoh politik, Macron tampaknya tidak memiliki kontradiksi. Ia adalah seorang 'pendatang baru', yang merupakan anak didik Presiden Hollande dan kemudian menjadi menteri ekonomi.

Ia juga seorang mantan bankir investasi, yang moderat tapi memiliki program radikal dalam sektor publik. Faktor-faktor ini menjadi amunisi yang sempurna untuk mengalahkan saingannya Marine Le Pen, yang mengatakan bahwa Macron adalah kandidat elit, bukan pemula seperti yang diakuinya.

Akan tetapi, Macron menghindari label yang mengatakan bahwa ia adalah penerus François Hollande selanjutnya. Ia berusaha membangun citra baru, seperti yang diinginkan rakyat Prancis. "Dia muda, penuh energi, dan dia tidak banyak menjelaskan apa yang akan dia lakukan untuk Prancis, tapi menunjukkan bagaimana orang-orang akan mendapatkan kesempatan baru. Dia satu-satunya yang memiliki citra seperti ini," kata Padis.

5. Dia melawan Marine Le Pen

Dengan nada yang lebih optimis, Marine Le Pen justru memiliki citra yang lebih negatif sebagai seseorang yang anti-imigrasi, anti-Uni Eropa, dan anti-sistem. Dibandingkan Macron, kampanye Le Pen tidak disambut dengan baik.

Jika alunan musik pop ikut bergema dalam setiap kampanye yang dilakukan Macron, maka dalam kampanye Le Pen, kita bisa mendengar suara demonstran yang marah dan melempari botol. Polisi banyak dikerahkan untuk berjaga-jaga di tempat Le Pen berkampanye.

Dalam debat TV yang diselenggarakan pada 3 Mei lalu, serangkaian penghinaan dan celaan dilontarkan oleh kedua belah pihak. Le Pen disebut memiliki latar belakang ekstremis yang sama dengan ayahnya Jean-Marie Le Pen, sedangkan Macron disebut sebagai boneka sosialis yang tunduk kepada Jerman.

Baca juga: Presiden Baru Prancis Emmanuel Macron Diadang Masalah Ekonomi

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement