REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kandidat Presiden Prancis terpilih Emmanuel Macron hanya membutuhkan waktu tiga tahun dari penasihat pemerintah yang tidak dikenal hingga kini menjadi kepala negara. Ia menjadi presiden termuda di Prancis setelah Napoleon.
Tokoh sayap tengah yang beberapa bulan lagi berusia 40 tahun itu menemui masa di mana terjadi gelombang nasionalisme ekonomi dan politik. Setelah Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa dan Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.
Terpilihnya Macron juga menandai adanya perubahan generasi pada politik Prancis yang telah lama ditunggu-tunggu. Setelah wajah lama mendominasi (politik Prancis) selama beberapa tahun.
Ia juga akan menjadi pemimpin negara termuda di antara anggota G7. Ini juga menghasilkan perbandingan antara pemimpin muda masa lalu dan sekarang. Dari Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau ke mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan bahkan Presiden AS John F. Kennedy.
Banyak hal dari Macron yang menjawab kerinduan mendalam akan wajah segar di pemerintahan Peancis. Ditambah dengan semangat optimismenya yang dianggap langka di negara yang telah lama mengalami penurunan nasional. "Kampanyenya seperti terapi kelompok, untuk mengubah rakyat Prancis menjadi optimis," kata penulis Michel Houellebecq, Senin (8/5).
Kekalahan tak terduga para rivalnya mengejutkan banyak pihak. Akan tetapi tak dipungkiri Macron juga memiliki taktik dalam pemenangan ini. Macron seperti ditakdirkan untuk terus meningkatkan pendirian Prancis ketika dia memutuskan untuk menerapkan keahliannya sebagai bankir pembuat kesepakatan investasi ke dunia politik. Meskipun dia cukup menelan kekecewaan untuk menyuarakan pesan anti-kelompok mapan yang kuat, saat dia hanya menjabat Menteri Ekonomi selama dua tahun.
Namun dia telah berjanji untuk menyingkirkan sistem di mana dia berasal. Di mana dia telah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah paling bergengsi di Prancis, menjadi perantara dalam akuisisi perusahaan senilai 10 miliar dolar AS, dan melayani pemerintahan Sosialis di bawah Presiden Francois Hollande.
"Prancis telah terblokade oleh kecenderungan melayani sendiri elitnya," katanya saat pidato di hadapan pendukungnya di selatan kota Pau.
"Dan saya akan sedikit bercerita, (sambil menurunkan suaranya), saya tahu itu, saya adalah bagian dari itu," ujarnya melanjutkan.
Macron lahir di Amiens, Rust Belt utara, dari keluarga dokter. Dia menikah saat usianya masih 15 tahun, dengan janda yang terpaut 24 tahun dengannya, Brigitte Trogneaux. Ia adalah seorang guru drama yang telah memiliki tiga anak dari suami pertamanya. Pernikahan keduanya yang dianggap tak biasa cukup menghebohkan masyarakat.
Usai menyelesaikan sekolah menengah, ia pindah ke Paris dan melanjutkan di akademi Sciences-Po dan Ecole Nationale d'Adminiatration (ENA), tempat para elit politik belajar. Ia juga pernah menjadi asisten peneliti filsuf Paul Ricoeur.
Setelah menyelesaikan sekolahnya, Macron bekerja di sektor pelayanan publik. Lalu bergelut di perbankan di bidang akuisisi bank investasi Rothschild. Ia telah membantu Nestle mengakuisisi divisi makanan bayi Pfizer yang membuatnya mendapatkan banyak uang.
Lalu setelah di Rothschild, ia menjadi staf Hollande di Elysee pada 2012. Tak lama kemudian dia diangkat menjadi Menteri Ekonomi. "Dia selalu ingin berada di dunia politik, dipilih. Dia selalu membicarakannya," kata teman sejawatnya di ENA Gaspard Gantzer.
Di pemerintahan, Macron sudah mulai mengubah beberapa model sosial Prancis. Seperti peraturan 35 jam kerja per pekan, perlindungan kerja yang kuat, dan budaya pekerjaan pegawai negeri sipil yang berlaku seumur hidup.
Kemenangan Macron dianggap sebagai pesan yang membuatnya mendapatkan popularitas yang mengejutkan. Di mana Prancis biasa meremehkan mantan bankir, pekerja keuangan. Ini juga sebagai penghinaan bagi tradisionalis kiri. Di mana tokoh sayap kiri Francois Ruffin pernah menuliskannya pada pekan lalu dalam surat terbuka, "Anda sudah dibenci bahkan sebelum menginjakkan kaki di Elysee."