REPUBLIKA.CO.ID, RANGOON -- Polisi Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap tujuh Buddha nasionalis. Sebab, mereka relah menghasut kekerasan dalam bentrokan dengan Muslim setempat.
Bentrokan tersebut berawal dari puluhan orang yang menyerbu Kota Mingalar Taung Nyunt di Yangon untuk mencari Muslim Rohingya yang mereka sebut sebagai penduduk ilegal. Konfrontasi itu kemudian menyisakan satu korban yang terluka.
Berdasarkan informasi dari media lokal, yang dikutip BBC, Jumat (12/5), para biksu Buddha memimpin kaum nasionalis untuk menggerebek permukiman Muslim. Ia menyerukan bahwa para Muslim tersebut ilegal berada di sana. Kemudian polisi membubarkan aksi kekerasan mereka dengan memberikan tembakan peringatan.
Adapun dua dari tujuh yang mendapat surat perintah penangkapan adalah seorang biksu. Di Myanmar, tindakan menghasut untuk melakukan kekerasan mendapatkan hukuman hingga dua tahun penjara.
Dalam beberapa bulan terakhir, para Buddha garis keras itu telah melakukan serangkaian aksi demonstrasi melawan Muslim. Dalam satu kesempatan, mereka membubarkan upacara keagamaan Islam. Dan yang terakhir, mereka memaksa dua sekolah agar ditutup sementara. Menurut mereka, sekolah tersebut telah berfungsi ganda, sebagai sekolah sekaligus masjid.
Kekerasan itu terjadi karena meningkatnya penolakan kaum mayoritas Buddha garis keras terhadap Muslim minoritas tersebut. Tercatat, ada kurang lebih satu juta penduduk Muslim di Myanmar. Mereka menyebutkan diri mereka sebagai etnis Rohingya.
Selama ini Pemerintah Myanmar menyebut kaum minoritas etnis Rohingya tersebut sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Anggapan ini juga diamini oleh sebagian besar masyarakat Myanmar.
Anggapan tersebut kemudian berdampak pada penyangkalan kewarganegaraan terhadap etnis Rohingya. Dengan demikian, pemerintah juga memberikan batasan yang luas dalam akses hidup mereka di Myanmar.
Analisis dari BBC News, Jonah Ficher mengaku pernah bertemu dengan salah satu biksu yang mendapatkan surat penangkapan tersebut sebelumnya. Biksu itu, U Thu Sitta, tergabung dalam sebuah kelompok nasionalis garis keras yang melakukan aksi demonstrasi di pelabuhan Yangon Februari, lalu. Aksi demonstrasi itu merupakan penolakan terhadap kapal bantuan dari Malaysia yang hendak mengirimkan bantuan kepada etnis Rohingya yang terbelenggu di Rakhine, Myanmar.