REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia menjadi salah satu negara yang menjadi korban terparah serangan siber global pada Jumat (12/5). Hari itu, sekitar seribu komputer di Kementerian Dalam Negeri Rusia yang menggunakan sistem operasi Microsoft Windows terinfeksi WannaCry, virus ransomware yang digunakan dalam aksi serangan siber tersebut.
Sejumlah tokoh di Rusia cukup geram dengan adanya serangan siber tersebut. Wakil Ketua Komite Pertahanan Senat Rusia Fritan Klintsevich menilai serangan siber itu sebagai ancaman langsung terhadap fungsi normal masyarakat.
Setelah sejumlah perangkat komputer pemerintah Rusia lumpuh, berbagai lembaga lainnya seperti bank, operator telekomunikasi, dan perusahaan transportasi Rusia berusaha sedemikian rupa menangkis serangan siber. “Kemanusiaan berurusan dengan terorisme siber. Ini adalah sinyal yang mengkhawatirkan. Dan bukan hanya sinyal tapi juga ancaman langsung terhadap fungsi normal masyarakat dan sistem pendukung kehidupan yang penting,” ucap Klintsevich, seperti dilaporkan laman New York Times, Ahad (14/5).
Menurutnya, serangan siber tersebut memang tidak hanya memperingatkan Rusia, tapi seluruh negara di dunia. “Serangan siber ini menyerang rumah sakit, transportasi kereta api, dan polisi. Setelah selama ini, dunia mendapat peringatan serius,” ujarnya.
Berbeda dengan reaksi Klintsevich, Direktur Institut Masalah Globalisasi di Rusia Mikhail Delyagin justru menuding Amerika Serikat (AS) berada di balik serangan dan peretasan tersebut. Ia menilai, serangan siber ini merupakan balasan AS terhadap Rusia karena dianggap telah berupaya meretas Negara Paman Sam tahun lalu.
Ketika Rusia dituding berusaha meretas, AS mengancam akan melancarkan serangan siber ke negaranya. “Saya menghormati kejujuran AS. Mereka mengancam kita dengan serangan siber, kemudian sebuah serangan siber mengikuti. Ini logis,” ucapnya.
Kendati demikian, periset komputer terkemuka di Rusia menahan diri tidak menyalahkan AS atas terjadinya serangan siber global walaupun mereka mengetahui virus berbahaya yang digunakan dalam serangan siber itu dikembangkan oleh badan kriptografi AS, yakni National Security Agency (NSA).
Igor Ashmanov, seorang anggota Dewan Ekonomi Digital, yakni badan penasihat pemerintah Rusia berpendapat kecil kemungkinan NSA terlibat atau berada di balik serangan siber global tersebut. “Badan siber negara (AS) tidak akan melakukan serangan bodoh semacam itu,” kata Ashmanov.
Namun, bila nantinya ternyata terbukti NSA terlibat dalam serangan siber ini, menurut Ashmanov, hal itu jelas pernyataan perang kepada Rusia. “Setiap serangan yang didukung pemerintah terhadap institusi Rusia akan dianggap sebagai tindakan perang,” ucapnya.
Pada Jumat lalu, sebuah virus ransomware bernama WannaCry menyerang ratusan ribu perangkat komputer yang menjalankan sistem operasi Microsoft Windows di hampir 100 negara. Virus ini dapat mengunci akses dan mengenkripsi seluruh data yang berada di dalam perangkat.
Untuk memulihkan akses, pengguna atau pemilik komputer yang diserang diharuskan membayar terlebih dulu menggunakan metode pembayaran digital bitcoin. Adapun jumlah uang yang harus dibayarkan berkisar antara 300 hingga 500 dolar AS.