Sabtu 20 May 2017 20:19 WIB

'Tak Tepat Sebut Muslim Radikal Pemenang Pilkada DKI'

 PPK Menteng mendistribusikan hasil rekapitulasi Pilkada DKI Jakarta ke KPUD Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (24/4).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
PPK Menteng mendistribusikan hasil rekapitulasi Pilkada DKI Jakarta ke KPUD Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pendapat yang menyebutkan Pilkada DKI Jakarta merupakan kemenangan Muslim radikal dipandang tidak tepat. Kemenangan itu lebih tepat disebut sebagai kemenangan oligarkhi politik yang memanfaatkan dan memobilisasi politik identitas berbendera Islam.

Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam diskusi bertajuk Identity Politics in Indonesian Electoral Democracy yang digelar di Melbourne University, Australia, Rabu (17/5) malam. Diskusi menampilkan narasumber Profesor Vedi Hadiz dari Melbourne University dan Profesor Ariel Heryanto dari Monash University.

"Sebenarnya sebuah faksi oligarkhi politik di Indonesia yang telah memobilisasi sentimen populisme Islam tersebut," ujar Prof Vedi.

Menurut dia, identitas politik Islam di Indonesia selalu terfragmentasi sehingga tidak pernah ada satu organisasi (politik) yang bisa mewakili umat atau yang dalam terminologi populisme biasa disebut sebagai "the people" atau rakyat.

Jakarta's incumbent governor leading the polls
Profesor Vedi Hadiz dari Asia Institute, Melbourne University.

(Foto: ABC News)

Upaya mobilisasi politik identitas Islam terfragmentasi tersebut, menurut Prof Vedi, mensyaratkan adanya kontroversi yang konstan agar bisa efektif dan berhasil.

"Kontroversi konstan ini membuat kepentingan oligarkhi yang kental serta sentimen keterpinggiran umat Islam bisa saling mendukung. Justru hal itu yang dilakukan Ahok, yaitu menyediakan kontroversi tersebut," jelas Prof Vedi yang buku terbarunya membahas mengenai Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (2016).

Bertentangan dengan pandangan Pilkada Jakarta dimenangkan oleh Islam radikal, Prof Vedi menyatakan lebih tepat menyebut suatu bagian dari oligarkhi yang menang di Jakarta dengan menggunakan Islam. Namun Prof Vedi mengingatkan pandangannya ini bukan berarti semuanya baik-baik saja.

"Justru pandangan ini menunjukkan taktik seperti itu terbukti berhasil, dan karenanya mungkin masih akan dipergunakan kembali di masa depan," katanya.

Menurut dia, dampak dari semua ini adalah meningkatnya "illiberelisme" demokrasi di Indonesia. "Sebab, yang ada adalah sejenis demokrasi dan sejenis Islam yang kurang respek terhadap keberagaman sosial dan hak-hak minoritas," kata Prof. Vedi.

Konsep illiberalisme demokrasi sering pula disebut sebagai "demokrasi kosong" yang sistem demokrasi yang meskipun melaksanakan pemilu, namun warga masyarakat secara umum tidak mengetahui kegiatan para pemegang kekuasaan politik karena kurangnya kebebasan sipil.

Indonesians attend a unity march
Salah satu aksi demonstrasi terkait Pilkada DKI.

(Foto: ABC News/Adam Harvey)

Sementara itu, Prof Ariel Heryanto dalam sesi diskusi menyatakan, yang terjadi di Indonesia saat ini bukan Islam melawan non-Islam. "Sayangnya, cerita tentang Islam melawan non-Islam ini begitu kuatnya sehingga begitu efektif," katanya.

Dalam pandangannya, Prof Ariel mengatakan pemain politik utama di Indonesia saat ini kebanyakan masih merupakan kelanjutan dari rezim Orde Baru. "Dahulu mereka menggunakan militerisme dan pembangunan, namun sekarang mereka mempergunakan Islam," jelas Prof Ariel yang juga Herb Feith Professor for the Study of Indonesia pada Monash University.

Diskusi tersebut juga menyoroti mobilisasi politik identitas Islam bisa sangat efektif untuk suatu era di suatu tempat, namun belum tentu bisa berhasil untuk era dan tempat berbeda.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/berita/keliru,-menyebut-hardliner-muslim-sebagai-pemenang-pilgub-jakar/8540928
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement