REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Tentara Myanmar pada pekan ini menolak tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam tindakan kerasnya terhadap suku Rohingya pada tahun lalu.
Tuduhan itu dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan tentang serangan itu, yang memaksa sekitar 75 ribu orang Rohingya lari ke negara tetangganya, Bangladesh. Tindakan keras tersebut, sebagai tanggapan atas serangan gerilyawan Rohingya pada pos penjaga perbatasan pada 9 Oktober, menjadi tantangan terbesar bagi pemimpin Myanmar dan peraih Nobel Aung San Suu Kyi, yang mulai berkuasa lebih dari setahun lalu.
Pasukan keamanan Myanmar melakukan pembunuhan besar dan perkosaan bergerombol terhadap warga Rohingya dalam aksi, yang sangat mungkin adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kemungkinan pembersihan suku, kata Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) dalam laporan diterbitkan pada Februari.
"Dari 18 tuduhan dalam laporan OHCHR, 12 di antaranya tidak benar dan enam sisanya salah dan dibuat berdasarkan atas kebohongan dan pernyataan rekayasa," kata surat kabar kelolaan negara "Global New Light of Myanmar" dalam tulisan pada Selasa (23/5), yang menyimpulkan penyelidikan internal tentara.
Dikatakannya, penyidik tentara antara lain mewawancarai hampir 3.000 penduduk dari 29 desa dan 'menuliskan' kesaksian dari 408 penduduk desa, 184 perwira dan tentara. "Tiga tentara berpangkat rendah dipenjara karena pelanggaran ringan, seperti mencuri sepeda motor atau memukuli penduduk desa dalam satu kejadian," tambahnya.
Terlepas dari penyelidikan tuntas tentara itu, lembaga negara bentukan Suu Kyi pada Desember dan diketuai wakil presiden Myint Swe, mantan kepala sandi tentara, juga mengaji tuduhan tersebut.Selain penyelidikan terkini itu, kementerian dalam negeri, yang dikendalikan tentara, juga melakukan penyelidikan.
Secara terpisah, PBB memerintahkan pembentukan gugus pencari bukti untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak asasi manusia.