REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Pemerintah Kolombia dan kelompok oposisi Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) sepakat memperpanjang batas waktu kesepakatan penyerahan senjata. Presiden Juan Manuel Santos mengatakan perpanjangan waktu ini akan berlangsung selama 20 hari.
Kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Kolombia dan FARC secara resmi pertama kali ditandatangani pada 27 September 2016. Berdasarkan ketentuan di dalam perjanjian itu, para anggota kelompok pemberontak tersebut diharuskan tinggal di kamp-kamp khusus yang disediakan di sejumlah wilayah negara.
Kemudian, mereka juga harus menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pihak yang mengawasi proses demobilisasi. Namun, sejumlah komandan FARC mengatakan proses itu tidak dapat selesai sesuai batas waktu yang awalnya ditentukan, yakni 30 Mei. Berbagai pertimbangan diajukan, salah satunya dengan alasan pembangunan kamp untuk tempat tinggal kelompok itu yang sempat ditunda.
"Dalam kesepakatan bersama dengan PBB dan FARC, kami telah sepakat batas waktu penyerahan senjata tidak akan berakhir pada 30 Mei, namun diperpanjang 20 hari setelah tanggal ini," ujar Santos dalam sebuah pidato di televisi nasional Kolombia, Senin (29/5).
Meski ada perubahan dalam perjanjian batas waktu itu, namun Santos menekankan tidak ada pengaruh besar secara keseluruhan kesepakatan damai antara Pemerintah Kolombia dan FARC. Ia juga mengatakan ketentuan para anggota kelompok oposisi terbesar negara itu di kamp-kamp demobilisasi juga diperpanjang hingga 1 Agustus mendatang.
Sebanyak hampir 7.000 anggota FARC telah tinggal di 26 tempat penampungan sementara tersebut sejak awal tahun ini. Beberapa komandan dari kelompok yang berdiri pada 1963 itu dilaporkan diadili atas kejahatan perang. Namun, sebagian besar juga menerima amnesti.
Undang-undang perdamaian antara Pemerintah Kolombia dan FARC saat ini secara luas telah disetujui oleh Kongres. Tetapi, keputusan ini disebut membuat adanya perdebatan yang lebih panjang diantara anggota dewan negara mengenai reformasi pedesaan dan partisipasi politik untuk kelompok pemberontak tersebut.
Perjanjian perdamaian antara Pemerintah Kolombia dan FARC menjadi akhir dari perang saudara yang terjadi di negara tersebut selama 52 tahun. Dalam konflik yang terjadi akibat adanya gerakan oposisi itu, sekitar 220 ribu orang menjadi korban. Bahkan, enam juta orang dilaporkan harus kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi.
Kesepakatan perdamaian yang pertama kali dibuat antara kedua belah pihak sempat ditolak dalam referendum yang digelar warga Kolombia pada 3 Oktober 2016. Dari hasil jajak pendapat, sebanyak 50,23 persen pemilih menolak dan 49,76 persen menerima.
Salah satu pihak yang menolak kesepakatan damai itu adalah mantan presiden Kolombia Alavaro Uribe. Ia mengatakan isi perjanjian tersebut dinilai tidak adil dan lebih menguntungkan FARC. Menurutnya, kesepakatan damai tidak mewakili keinginan banyak orang di negara tersebut.
Karena itu, dokumen kesepakatan damai direvisi oleh Pemerintah Kolombia dan FARC. Ketentuan perjanjian baru diterbitkan dan ditandatangani pada 24 November 2016. Kali ini, warga negara itu tidak memiliki kesempatan untuk langsung menolaknya.
Tetapi, kesepakatan harus diratifikasi oleh Kongres Kolombia. Banyak pihak yang menentang perjanjian damai antara FARC dan Pemerintah, seperti Uribe tetap menyatakan tidak setuju. Ia juga menilai revisi tak banyak mengubah isi perjanjian awal. Perubahan yang ada dalam isi perjanjian itu hanya mencakup klarifikasi hak miliki pribadi, termasuk juga rincian prosdur penahanan anggota FARC yang akan dihukum atas kejahatan perang.