REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sejumlah pemimpin organisasi dunia mulai bereaksi terhadap laporan rencana Trump menarik keluar negaranya dari perjanjian Paris yang memerangi perubahan iklim.
Wakil Presiden Komisi Eropa Maros Sefcovic mengatakan Uni Eropa siap memimpin upaya memerangi pemanasan global. "Harapan terhadap kami semakin besar dari negara-negara sahabat di Afrika, Asia, dan Cina. Mereka berharap Eropa harus menjadi pemimpin dalam upaya ini dan kami siap," kata Sefcovic.
Perdana Menteri Finlandia Juha Sipila mengatakan penarikan diri Amerika Serikat adalah kemunduran besar, namun "kita harus mencari negara sahabat untuk terus melangkah, karena kerja ini tidak boleh berhenti".
Sejumlah pejabat Gedung Putih mengatakan rincian pengeluaran Amerika Serikat dari perjanjian itu, yang disepakati di Paris oleh hampir 200 negara pada 2015, masih dirundingkan. Trump, yang pernah menyebut pemanasan global sebagai berita palsu, di Twitter hanya menulis "Saya akan mengumumkan keputusan terkait Perjanjian Paris dalam beberapa hari ke depan".
Sumber Reuters mengungkapkan Trump tengah membahas syarat penarikan diri itu dengan Administratur Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat, Scott Pruitt, yang dikenal skeptis terhadap perubahan iklim. Trump menolak dukungan terhadap perjanjian iklim bersejarah tersebut dalam konferensi tingkat tinggi G7 pada Sabtu lalu, dengan alasan masih perlu waktu.
Keputusan penarikan diri Amerika Serikat akan semakin mengalienasi Washington dari sekutunya di Eropa, yang sudah mulai banyak mempertanyakan kepemimpinan Amerika Serikat dalam sejumlah persoalan penting dunia. Penarikan diri yang sama juga menjadi langkah maju dari Trump untuk menghapus warisan dari pendahulunya, Barack Obama, yang merupakan aktor utama tercapainya Perjanjian Paris.
Jika Trump mewujudkan rencananya, Amerika Serikat bersama Suriah dan Nikaragua akan menjadi tiga negara yang tidak berpartisipasi dalam Perjanjian Paris. Penarikan diri itu akan berdampak besar mengingat kesuksesan Perjanjian Paris sangat bergantung pada komitmen negara penyumbang polusi besar untuk mengurangi emisi karbon.
Amerika Serikat adalah negara penyumbang emisi karbon dioksida terbesar kedua di dunia setelah Cina. Perjanjian Paris punya target membatasi pemanasan global dengan mengurangi karbon dioksida yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil. Dalam kesepakatan itu, Amerika Serikat berkomitmen mengurangi emisi sebesar 26 persen smpai 28 persen pada 2025.
Dalam kampanye pemilihan presiden 2016, Trump berjanji membatalkan Perjanjian Paris dalam 100 hari masa kepresidenannya sebagai upaya mengembalikan kejayaan industri minyak dan batu bara Amerika Serikat. Di sisi lain, Trump masih membutuhkan dukungan lebih besar dari sesama Partai Republik. Dalam survai terkini Reuters/Ipsos, hanya 50 persen konstituen Republik sepakat Amerika Serikat meninggalkan Perjanjian Paris, 37 persen menolak, dan sisanya belum menentukan sikap.
Baca: Donald Trump Ingin AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris