REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mengumumkan negaranya telah menarik diri dari Kesepakatan Paris, Kamis (3/6). Ia mengatakan diperlukan negosiasi untuk mencapai perjanjian tentang iklim tersebut yang lebih adil.
Kesepakatan Paris berisi sejumlah ketentuan mengenai iklim secara komprehensif untuk pertama di dunia. Perjanjian ini dibuat pada 2015 lalu dengan tujuan utama menjaga kenaikan rata-rata suhu global.
Negara-negara yang terlibat dalam Kesepakatan Paris diharuskan mengurangi emisi karbon yang rentan membuat perubahan iklim atau pemanasan global. Saat ini, sebanyak 147 dari 197 negara telah menandatangani perjanjian itu. Hanya ada dua negara, yaitu Suriah dan Nikaragua yang memiliki abstain.
AS menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi kesepakatan yang berlaku pada November 2016 lalu. Pada September di tahun itu, mantan presiden Barack Obama menyetujui isi perjanjian.
Trump yang mulai menjabat sejak 20 Januari lalu sebagai Presiden AS mengaku keberatan dengan kesepakatan itu. Ia menilai bahwa ketentuan yang ada dalam perjanjian Paris hanyalah tipuan yang dibuat oleh Cina.
Sepanjang kampanye tahun lalu, Trump berulang kali mengatakan bahwa isi kesepakatan itu berdampak sangat buruk bagi perekonomian AS. Miliarder itu melihat banyak kemungkinan bahwa birokrat asing memanfaatkan hal itu untuk mengendalikan jumlah energi yang dimiliki Negeri Paman Sam.
"Kami akan bergerak untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih adil dan tentunya tidak akan merugikan bisnis serta semua pekerja di AS," ujar Trump dilansir BBC.
Ia mengklaim bahwa Kesepakatan Paris telah membuat indeks perekonomian AS menurun hingga 3 triliun dolar AS. Tak hanya itu, sebanyak 6,5 juta pekerjaan hilang akibat ketentuan dalam perjanjian tersebut.
"Sementara, negara saingan kami seperti Cina dan India mendapat perlakukan lebih baik. Untuk memenuhi kewajiban melindungi negara dan seluruh masyarakat, AS keluar dari Kesepakatan Paris," jelas Trump.
Sejumlah analis menilai penarikan diri AS dari Kesepakatan Paris membuat dunia kesulitan untuk mencapai tujuan menyelamatkan lingkungan dari pemanasan global. Selama ini, negara adidaya itu telah menyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global.
Anggota G7 yang terlibat dalam Kesepakatan Paris saat itu sebelumnya juga telah mengingatkan agar AS terus menjaga komitmen dalam perjanjian. Salah satu alasan utama pentingnya komitmen AS adalah karena negara itu merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar kedua setelah Cina.
Obama selaku mantan presiden AS yang menyetujui Kesepakatan Paris juga mengkritik langkah Trump. Ia mengatakan bahwa penerusnya mencoba menolak untuk membuat kehidupan lebih baik di masa depan.
Trump tidak memberi skala waktu terkait penarikan diri AS dari Kesepakatan Paris. Namun, beberapa sumber dari gedung Putih mengatakan diperlukan waktu hingga empat tahun untuk kembali dalam perjanjian tersebut.