REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Kepala Dewan Pembebasan Bersyarat Victoria mengkritik keras Jaksa Agung Australia, George Brandis karena telah menyebarkan informasi yang salah tentang pembebasan Yacqub Khayre, pria pelaku serangan teroris di Brighton dari penjara.
Khayre membunuh Nick Hao (36 tahun) yang baru menikah dan sedang bekerja di sebuah kompleks apartemen di daerah Bayside, Melbourne, pada Senin (5/6) dan menyandera seorang perempuan. Dia menembak tiga petugas polisi pada akhir penyanderaan tersebut sebelum akhirnya tewas dibunuh oleh polisi.
Sistem pembebasan bersyarat di negara bagian Victoria mendapat kritik luas sejak kejadian tersebut, termasuk dari Perdana Menteri Malcolm Turnbull dan Jaksa Agung Federal. Khayre (29) dibebaskan bersyarat setelah menjalani sebagian besar masa hukuman lima setengah tahun, atas tuduhan yang berkaitan dengan perampokan disertai kekerasan.
Pada Rabu (7/6), Jaksa Agung Brandis sempat mengatakan kepada Sky News Khayre dibebaskan segera setelah periode non-pembebasan bersyaratnya habis. "Dia diberi pembebasan bersyarat setelah menjalani masa hukuman terpendek dari vonis yang diterimanya, dengan kata lain, segera setelah masa non-pembebasan bersyaratnya berakhir, dia segera diberi pembebasan bersyarat," ungkap Jaksa Agung George Brandis.
"Dia seharusnya tidak diperlakukan begitu saja dan menimbang fakta kejahatan yang telah dilakukannya.”
Namun, Ketua Dewan Pembebasan Bersyarat Victoria, Peter Couzens, mengatakan kepada ABC Radio Melbourne bahwa klaim Jaksa Agung itu "benar-benar salah".
Siapakah sesungguhnya Khayre?
Nama Yacqub Khayre begitu dikenal oleh polisi dan memiliki sejarah kriminal yang panjang. "Saya agak frustrasi oleh kesalahan informasi dari orang-orang yang seharusnya mengetahui situasinya lebih baik, seperti Jaksa Agung Federal, dia seharusnya mengemukakan fakta yang benar-benar akurat tentang waktu pembebasan dari pria ini," katanya.
Dia mengatakan Khayre dijatuhi hukuman dengan masa nonpembebasan bersyarat tiga tahun."Dia mengajukan permohonan untuk pembebasan bersyarat, tapi awalnya dewan menolak untuk mempertimbangkan pembebasan bersyarat untuknya, karena dia tidak berperilaku baik,” katanya.
"Pertimbangan terakhir atas permohonan pembebasan bersyaratnya itu ditunda dari bulan Maret 2015, sampai dewan berhasil memutuskannya pada bulan Desember 2016 ... satu tahun dan tiga bulan setelah tanggal pembebasannya yang paling awal."
Tak bersalah sampai terbukti melanggar
Keterkaitan Khayre dengan terorisme juga mendapat sorotan sejak insiden hari Senin (5/6/2017), mengingat dia dihukum dan dibebaskan oleh seorang juri atas sebuah rencana untuk menyerang barak Angkatan Darat Holsworthy di Sydney pada tahun 2009.
Menteri Utama Victoria, Daniel Andrews, mengusulkan dilakukannya perubahan terhadap undang-undang federal yang akan memberi kewenangan langsung kepada pemerintah federal dalam menentukan apakah ada pihak yang menurut mereka mencurigakan, mendapat pembebasan bersyarat.
"Saya siap, jika perlu, untuk mengambil langkah luar biasa yang merujuk pada kekuasaan dalam membuat keputusan pembebasan bersyarat untuk orang-orang yang berada dalam daftar pengawasan terorisme Pemerintah Federal sehingga lembaga intel ASIO dan Kepolisian Federal dapat terlibat secara langsung," kata Daniel Andrews
Sebelumnya pada Rabu (7/6), Hakim Couzens mengatakan bahwa Dewan Pembebasan Bersyarat tidak pernah diberitahu bahwa Khayre masuk dalam daftar pengawasan teror sebelumdewan ini memutuskan untuk melepaskannya dari tahanan.
“Kami tidak pernah diberitahukan informasi apapun berkaitan dengan hal ini, apakah itu pada saat membuat keputusan kalau dia akan dibebaskan dengan pembebasan bersyarat, atau setelahnya.”
“Tentu saja daftar seperti itu harusnya dibagi kepada dewan pembebasan bersyarat, dan daftar itu seharusnya juga dibagi dengan lembaga pemasyarakatanVictoria.”
Satu-satunya informasi yang diperoleh Badan Pembebasan Bersyarat dari lembaga kontra terorisme adalah permohonan atas rincian kontak untuk mengembalikan sebuah properti kepada Khayre, ungkap Hakim Couzhen.
Tapi Jaksa Agung mengatakan kepada Sky News bahwa "tidak ada daftar pengawasan seperti itu". "Yang ada hanyalah daftar investigasi terkini bagi orang yang menjadi perhatian ASIO," katanya.
"Saat ini, ada sekitar 400 investigasi ASIO yang sedang berlangsung namun di luar itu ada segelintir orang yang mungkin masuk dalam pengawasan ASIO di tahun-tahun sebelumnya."
Dia mengatakan Khayre tidak sedang diselidiki oleh ASIO pada saat dia diberikan pembebasan bersyarat. Hakim Couzens mengatakan bahwa dia menyandarkan keputusannya pada alasan bahwa Khayre tidak dienggap berisiko.
Hakin Couzens mengatakan dirinya menyadarkan keputusan Dewan Pembebasan Bersyarat Vicroria untuk membebaskan bersyarat Khayre berdasarkan informasi yang dimiliki dewan ketika itu. "Dia dibebaskan dari tuduhan terorisme dan menurut saya, prinsip dasar yang ada dalam sistem peradilan pidana kita telah dilupakan, yaitu seseorang dinyatakan tidak bersalah sampai terbukti bersalah," katanya.
"Pada saat dewan membuat keputusannya, dan pada saat insiden mengerikan ini terjadi pada hari Senin lalu, dia tidak masuk dalam daftar pengawasan manapun karena hal itu memang tidak ada.”
"Dia bukan subjek investigasi ASIO dan sesoeorang bisa menyimpulkan bahwa dia tidak dianggap sebagai risiko."
Membatasi pembebasan bersyarat 'sangat tidak bijaksana'
Hakim Couzens juga mengkritik Perdana Menteri atas ucapannya mengenai tingkat kelayakan Khayre untuk mendapatkan pembebasan bersyarat awal pekan ini. Pada Selasa (5/6), PM Malcolm Turnbull mempertanyakan mengapa Khayre diberi pembebasan bersyarat padahal dia memiliki riwayat kejahatan yang panjang dan hubungan terdahulu dengan para tersangka teroris.
"Jelas bahwa ini adalah masalah nyata di mana orang-orang dengan catatan kekerasan yang diketahui, termasuk orang-orang yang memiliki koneksi teroris yang telah diketahui, atau setidaknya koneksi dengan kelompok ekstremis, telah dibebaskan dengan pembebasan bersyarat," kata Turnbull.
Hakim Couzens mengatakan jika Perdana Menteri menyerukan dihapuskanntya pembebasan bersyarat bagi siapa saja yang telah melakukan pelanggaran kekerasan, maka masyarakat akan lebih mengalami risiko..
“Ini benar-benar langkah yang tidak bijaksana, karena jika anda tidak memiliki mekanisme pembebasan bersyarat untuk terpidana yang telah dihukum karena kejahatan apapun, apakah itu karena kekerasan atau sebaliknya, mereka akan keluar dari penjara tanpa ketentuan apapun, tanpa dukungan appaun, tanpa pengawasan apapun, tanpa bantuan yang berkelanjutan untuk mengatasi kondisi yang mendasar yang mereka bawa dari penjara bersama mereka, "katanya.
"Risikonya, dan menurut saya pendapat ahli konsisten dengan hal ini, adalah orang yang dilepaskan dengan pembebasan bersyarat jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi residivis daripada orang yang dilepaskan secara langsung."
Diterbitkan pada 20:30 WIB, 7/6/2017, oleh Iffah Nur Arifah. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.