REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah Australia akan meminta perusahaan teknologi global menyerahkan data pelanggan dalam rangka membantu memerangi terorisme. Hal ini akan menjadi agenda utama dalam pertemuan aliansi intelijen ‘Five Eyes’ mendatang.
Lima negara dalam aliansi itu adalah Australia, Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat dan Kanada, dan mereka secara teratur berbagi informasi keamanan dan intelijen.
Jaksa Agung Australia George Brandis akan menghadiri pertemuan mendatang dari aliansi ini pada akhir Juni, dan mengatakan, meminta perusahaan seperti Google dan Facebook untuk bekerja sama lebih erat dengan pihak berwenang dalam investigasi terorisme begitu penting.
"Ada isu tanggung jawab sosial perusahaan yang sangat penting, karena tidak diragukan lagi bahwa media sosial adalah sarana yang digunakan teroris. Jujur saja, mereka melakukan banyak hal, tapi selalu ada cara untuk melakukan lebih banyak hal," kata Senator Brandis.
"Kami telah mencantumkan ini sebagai agenda utama Australia - masalah enkripsi, komunikasi, dan tanggung jawab sektor swasta dari penyedia layanan internet, telekomunikasi dan pembuat perangkat untuk menjadi lebih proaktif, bekerjasama lebih banyak dengan pemerintah untuk memenuhi persyaratan intelijen dan keamanan nasional serta penegakan hukum yang penting ini," terangnya.
Setelah serangan terror di London Bridge dan Borough Markets pada akhir pekan lalu, Perdana Menteri Inggris Theresa May menyerukan adanya tindakan keras terhadap layanan internet yang memberi "ruang aman yang dibutuhkan untuk berkembang biak" bagi ideologi ekstremis.
"Kita perlu bekerja sama dengan pemerintah demokrasi yang bersekutu untuk mencapai kesepakatan internasional yang mengatur dunia maya," kata Theresa May pada Ahad (4/6).
Facebook, Google dan Twitter semuanya berpendapat bahwa mereka bekerja untuk mengatasi penyebaran propaganda militan, dan berkomitmen untuk memastikan teroris tidak memiliki suara di dunia maya. Pakar keamanan telah memeringatkan bahwa menjauhkan para teroris dari dunia maya benar-benar bisa mempersulit pelacakan aktivitas mereka.
FBI (Biro Investigasi AS) sebelumnya telah berjuang melawan data enkripsi milik raksasa teknologi ‘Apple’ dalam penyelidikan kriminal.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 16:30 WIB 07/06/2017 oleh Nurina Savitri.