REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Pemerintah Australia untuk pertama kalinya akan membangun penjara khusus narapidana terorisme di New South Wales. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengisolasi pelaku kejahatan itu dan mencegah secara lebih maksimal radikalisme yang mungkin menyebar dalam tahanan.
Penjara khusus itu disebut memiliki kapasitas untuk 54 orang narapidana. Nantinya, sistem keamanan dalam seluruh sel dan area tempat itu akan sangat ketat, termasuk dalam hal pengawasan dan isolasi para tahanan.
"Dalam tiga tahun ke depan, kapasitas dalam penjara ini akan lebih banyak dan tambahan keamanan untuk mengisolasi para tahanan juga dilakukan," ujar Perdana Menteri untuk negara bagian New South Wales, Gladys Berejiklian, dilansir Asian Correspondent, Ahad (11/6).
Setidaknya dana sebesar 47 juta dolar Australia disediakan untuk penambahan berbagai fasilitas keamanan dan lainnya yang diperlukan untuk penjara khusus itu. Selama ini, penyebaran radikalisasi dinilai sangat mungin terjadi dalam tahanan biasa.
Di New South Wales, ada sekitar 33 orang yang dipenjara karena terorisme. Dalam beberapa waktu terakhir, Pemerintah Australia juga melihat serangkaian serangan yang terjadi dan nampak terinspirasi oleh berbagai kelompok militan dan radikal. Salah satu insiden teror terbaru terjadi di Melbourne. Di salah satu apartemen di kota itu, ada seorang pria bersenjata bernama Yacqub yang mengancam polisi dengan menodongkan senapan ke seorang perempuan di apartemen tersebut.
Khayre disebut bertindak atas perintah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dengan meneriakkan nama kelompok itu saat pengepungan dari pihak berwenang berlangsung. Namun, polisi mengatakan belum ada bukti yang menunjukkan bahwa pria berusia 29 tahun itu terkait maupun berkoordinasi dengan kelompok militan itu.
Khayre pernah tercatat melakukan tindakan kriminal pada 2009 lalu. Saat itu, ia diduga merencanakan serangan di sebuah barak tentara di Sydney. Tetapi ia kemudian dibebaskan. Selain itu, ia juga pernah melakukan sebuah pelanggaran pada 2016 lalu. Tetapi, kemudian ia dibebaskan secara bersyarat, hingga insiden terbaru yang melibatkan dirinya kembali terjadi.
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull mengatakan peristiwa ini menjadi kekhawatiran baru dan serius terhadap sistem pembebasan bersyarat di negaranya. Ia berjanji untuk memperbaiki dan menangani agar kasus serupa tidak lagi terjadi.
"Bagaimana dasar pembebasan bersyarat tentu harus dikaji lebih dalam karena semua warga Australiaperlu yakini bahwa orang-orang yang menjadi ancaman tidak dapat dibebaskan dengan cara itu," jelas Turnbull.
Meski demikian, pada 2016 Australia meloloskan undang-undang yang mengizinkan penahanan tanpa batas waktu bagi siapapun yang didakwa terkait tindakan teror. Hal ini dapat dilakukan jika pihak berwenang meyakini seseorang yang telah dibebaskan dari tahanan tetap dapat menjadi ancaman.