REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Ketika melarikan diri dari konflik Suriah pada 2016, pendidikan bukan hal pertama yang ada dalam pikiran Hadi Althib (23 tahun). Begitu sampai di Gaziantep, sebuah kota di Turki yang terletak tidak jauh dari perbatasan Suriah, dia hanya fokus mencari pekerjaan dan tempat tinggal.
Namun setelah memasuki peran barunya dalam mengelola program pengembangan pemuda untuk kamp pengungsian dan tempat penampungan di Suriah, Lebanon, dan Yordania, Althib menyatakan ingin kembali bersekolah.
"Saya sedang berjuang untuk mendapatkan pendidikan. Hal itu sangat sulit karena ketika saya tiba di Turki, saya tidak punya apa-apa, tidak ada apa-apanya sama sekali. Saya mulai nol, mungkin sebelum nol," kata Althib kepada TIME.
"Saya tidak punya tempat tinggal, saya tidak melakukan apapun, tapi saya punya rencana yang harus saya jalankan," ungkapnya.
Hampir 18 bulan setelah tiba di Turki, Althib menemukan cara untuk melanjutkan pendidikannya. Seperti ribuan pengungsi lainnya di seluruh dunia, dia mengikuti kursus daring (online) yang ditawarkan oleh universitas-universitas di luar negeri, seperti Universitas Amsterdam dan Baltimore, melalui program kelas gratis.
Althib adalah satu dari lebih dari 65,6 juta orang yang secara terpaksa mengungsi ke sejumlah negara di seluruh dunia. Banyak pihak yang telah meminta negara-negara penerima pengungsi untuk untuk menyediakan pendidikan bagi pengungsi dalam program jangka panjang.
Progam ini sangat penting bagi pengungsi dari negara-negara seperti Suriah, yang mungkin tidak dapat kembali ke rumah mereka dan melanjutkan studi di sekolah mereka dalam waktu dekat.
"Gagasan tentang pendidikan harus dikemukakan sampai seseorang bisa kembali ke rumah mereka, dengan menyediakan keseluruhan program pendidikan," kata Sarah Dryden-Peterson, seorang profesor di Harvard Graduate School of Education, yang mempelajari pendidikan pengungsi.
Menurut statistik UNICEF, hanya setengah dari jumlah pengungsi anak-anak yang terdaftar di sekolah dasar dan kurang dari seperempatnya terdaftar di sekolah menengah.
"Karena pengungsi anak-anak memiliki ketidakpastian yang tinggi mengenai masa depan mereka nantinya, mereka memerlukan sekolah untuk mengeluarkan keterampilan mereka," ujar Dryden-Peterson.
Di Suriah, Althib telah belajar ilmu kedokteran gigi dan lulus dari Universitas Damaskus pada 2015. Ia kemudian menyatakan ketertarikannya pada pekerjaan sosial. "Saya mengakui saya ingin melakukan sesuatu terhadap orang-orang, bukan yang berkaitan dengan gigi," katanya.
Tahun lalu, Althib telah menyelesaikan kursus penganggaran, statistik dasar, dan psikologi melalui Coursera for Refugees. Ia mendapatkan satu set keterampilan yang memberinya lebih banyak kredibilitas dalam pekerjaannya.
Dia juga berusaha meraih gelar sarjana, dengan mengakses kursus universitas melalui Kiron Open Higher Education. Tujuan jangka panjangnya adalah kembali ke Suriah. "Visi saya adalah untuk menghubungkan pemuda Suriah agar dapat memimpin proses pembangunan perdamaian setelah perang," ungkap Althib.
"Saya ingin terus bekerja di Suriah dan membangun kembali apa yang telah rusak di Suriah. Saya tidak ingin keluar dari Suriah," tutur dia.