REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Presiden AS Donald Trump menyambut kedatangan Perdana Menteri India Narendra Modi di Gedung Putih, Senin (26/6). Keduanya membahas kemitraan strategis yang semakin erat, terlebih setelah AS mencap seorang militan asal negara tetangga India, Pakistan, sebagai bagian dari jaringan teroris global.
Trump menyatakan, AS adalah teman sejati India dan hubungan antara kedua negara demokrasi besar itu akan selalu menjadi lebih baik. Namun ada beberapa ketegangan dalam pertemuan perdana antara dua pemimpin populis tersebut. Dalam sektor perdagangan, Trump menuntut dikuranginya hambatan bagi perusahaan Amerika yang melakukan ekspor ke India.
"Kedua negara kita telah terpukul oleh kejahatan terorisme dan kita sama-sama bertekad untuk menghancurkan kelompok teroris dan ideologi radikal. Kita akan menghancurkan terorisme Islam radikal," ujar Trump dalam konferensi pers di Rose Garden, dikutip Time.
Sementara Modi, seorang nasionalis Hindu yang pemimpin sebuah negara berpenduduk hampir 175 juta Muslim, tidak menggunakan terminologi yang sama. Dia menekankan pentingnya melindungi tempat-tempat suci dan memiliki tempat berlindung yang aman dari kelompok teror.
Pernyataannya mencerminkan kekhawatiran India tentang kelompok militan yang berbasis di Pakistan dan mengancam India. Dia mengatakan AS dan India akan meningkatkan pembagian intelijen.
Beberapa jam sebelum kedatangan Modi, Departemen Luar Negeri AS memberlakukan sanksi kepada Syed Salahuddin, pemimpin Hizbul Mujahideen yang berbasis di Pakistan. Hizbul Mujahideen adalah kelompok pemberontak utama yang berperang melawan pemerintah India di wilayah Kashmir yang menjadi sengketa.
Pemerintahan Trump mengungkapkan keinginannya untuk memberi India teknologi pertahanan yang lebih baik. Departemen Luar Negeri AS pada Senin (26/6) juga menyetujui penjualan pesawat angkut militer C-17 senilai 365 juta dolar AS ke India.
AS juga menawarkan penjualan pesawat tak berawak buatan AS senilai 2 miliar dolar AS untuk membantu pengintaian di Samudra Hindia. Trump dan Modi memiliki agenda nasionalis ekonomi yang sebenarnya berbenturan.
Trump memiliki gagasan "America First" dan ingin menghentikan migrasi pekerjaan ke luar negeri. Sementara Modi memiliki gagasan sendiri untuk meningkatkan produksi dalam negeri dengan program "Make in India."