REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Warga dari enam negara berpenduduk mayoritas Muslim dan pengungsi di semua negara kembali terkena dampak larangan perjalanan kontroversial yang keluarkan Presiden AS Donald Trump. Kebijakan ini mulai berlaku Kamis (27/6) tepat pukul 20.00 waktu Washington.
Tanpa memiliki keluarga dekat atau hubungan bisnis di AS, permohonan visa warga Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan, dan Yaman, akan ditolak dan dilarang memasuki AS. Namun dalam aturannya, kakek-nenek, bibi, paman, dan keponakan, tidak dianggap sebagai keluarga dekat, sehingga tidak memenuhi syarat masuk.
Beberapa saat sebelum larangan perjalanan tersebut kembali diberlakukan, negara bagian Hawaii telah meminta hakim federal untuk melakukan klarifikasi. Hawaii menuduh pemerintah AS telah melanggar instruksi Mahkamah Agung dengan melarang orang-orang untuk memasuki AS.
Awal pekan ini, Mahkamah Agung telah memberlakukan kembali perintah eksekutif Presiden Trump terkait larangan perjalanan bagi enam negara. Mahkamah Agung diperkirakan akan membuat keputusan akhir mengenai kebijakan tersebut pada Oktober mendatang.
Menurut aturan baru yang diumumkan Departemen Luar Negeri, untuk 90 hari ke depan, warga dari enam negara mayoritas Muslim yang telah ditentukan, tidak akan bisa masuk ke AS. Mereka mendapat pengecualian jika bisa membuktikan hubungan dekat dengan orang tua, pasangan, anak, menantu, saudara kandung, termasuk anak tiri, yang telah lebih dahulu berada di AS.
Mereka juga dibebaskan dari larangan perjalanan jika memiliki hubungan bisnis atau pendidikan di AS. Namun, aturan tersebut secara khusus menyatakan hubungan tersebut harus formal dan didokumentasikan.
Mereka yang sudah memegang visa yang sah, tidak akan terpengaruh. Warga negara ganda yang melakukan perjalanan dengan paspor mereka dari negara yang tidak terpengaruh, juga akan diizinkan masuk. Pengadilan tersebut juga menyetujui larangan 120 hari bagi pengungsi yang ingin memasuki AS.
Dilansir dari BBC, Presiden Trump menegaskan, larangan tersebut diperlukan untuk menjaga keamanan nasional. Ia merujuk pada serangan teroris di Paris, London, Brussels, dan Berlin sebagai bukti.
Namun, sejumlah kritikus menyebut kebijakan tersebut tidak menunjukkan wajah Amerika yang sebenarnya dan cenderung ke arah Islamofobia. Larangan perjalanan ini juga dinilai tidak akan menghentikan aksi terorisme di AS yang banyak dilakukan oleh warga AS itu sendiri.