REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Hampir setengah juta warga Suriah kembali ke rumah mereka sepanjang tahun ini, termasuk 440.000 pengungsi dalam negeri dan lebih dari 31.000 orang kembali dari negara tetangga. Hal itu diungkapkan badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Jumat (30/6).
Sebagian besar dari mereka kembali ke Aleppo, Hama, Homs dan Damaskus, kata UNHCR, dengan pertimbangan bahwa keamanan meningkat di beberapa bagian negara ini. "Ini adalah tren yang signifikan dan sejumlah besar," kata Juru bicara UNHCR Andrej Mahecic pada sebuah konferensi pers di Jenewa.
"Sebagian besar orang ini kembali untuk memeriksa properti, untuk mencari tahu tentang anggota keluarga ... Mereka punya persepsi sendiri tentang situasi keamanan, nyata atau perbaikan di daerah tempat mereka kembali. "
Sementara itu, pekan ini Amerika Serikat meminta Damaskus membatalkan rencana serangan kimia. Tudingan didasarkan atas informasi intelijen terkait persiapan di lapangan terbang Suriah.
Rusia, pendukung utama pemerintahan Presiden Suriah Bashar al Assad, langsung menanggapi dengan mengecam tudingan itu.
Juru bicara Pentagon, Kapten Jeff Davis, mengatakan bahwa pihaknya menerima informasi tentang kegiatan di lapangan terbang Shayrat, yang menjadi sasaran serangan peluru kendali Amerika Serikat pada 6 April.
"Persiapan itu melibatkan pesawat di hanggar khusus, yang kami tahu sering digunakan untuk persenjataan kimia," kata Davis. Davis mengatakan aktivitas itu terjadi sejak "satu atau dua hari lalu". Dia tidak menjelaskan bagaimana Amerika Serikat mendapatkan informasi intelijennya.
Sebelumnya, Gedung Putih mengatakan bahwa pemerintah Suriah menyiapkan serangan kimia dan mengancam Bashar akan "membayar harga mahal" jika mewujudkan rencana itu.
Pada April, Amerika Serikat menyerang lapangan udara Shayrat dua hari setelah 87 orang tewas akibat sebuah serangan gas beracun di wilayah gerilyawan. Suriah membantah telah melakukan serangan itu.
Rusia membantah informasi intelejen Amerika Serikat. "Saya tidak mengetahui adanya informasi mengenai ancaman serangan senjata kimia," kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, kepada sejumlah wartawan.
"Tentu saja, kami menilai tudingan itu adalah ancaman yang tidak bisa diterima bagi kepemimpinan sah Republik Arab Suriah," kata dia.
Sejumlah pejabat Rusia sendiri menyebut perang di Suriah sebagai sumber ketegangan utama antara Moskow dengan Washington. Serangan rudal pada April, yang diperintahkan secara langsung oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, telah menaikkan resiko konfrontasi dua negara.
Sementara itu, Bashar dilaporkan mengunjungi pangkalan udara Rusia di Hmeymin, kawasan barat Suriah. Ini adalah kunjungan pertamanya di tempat yang digunakan Moskow untuk menggelar operasi militer udara di Suriah.
Baik militer maupun Kementerian Luar Negeri Suriah hingga kini tidak menanggapi tudingan Gedung Putih itu.
Senator Amerika Serikat Bob Corker, yang merupakan kepala Komite Urusan Luar Negeri, menyatakan kekhawatiran adanya persiapan serangan senjata kimia memang benar.