REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Amerika Serikat pada Senin (10/7) meminta Myanmar agar mengizinkan misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelidiki dugaan pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan yang dilakukan pasukan keamanan terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang bermarkas di Jenewa memulai penyelidikan pada Maret, namun pemimpin de facto pemerintahan sipil Myanmar dan juga bertindak sebagai menteri luar negerinya Aung San Suu Kyi menolak tuduhan itu dan menentang misi tersebut.
Seorang pejabat Myanmar mengatakan pada 30 Juni lalu negara tersebut akan menolak masuk para penyidik PBB. "Ini sesuatu yang penting, sebaiknya pemerintah Burma mengizinkan misi pencari fakta untuk melakukan tugasnya," kata Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Nikki Haley di New York.
"Masyarakat internasional tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di Burma, kita harus berdiri bersama dan meminta pemerintah sepenuhnya bekerja sama dengan misi pencari fakta ini," katanya dalam sebuah pernyataan. Myanmar sebelumnya dikenal sebagai Burma.
Sekitar 75 ribu etnis Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke Bangladesh, setelah tentara Myanmar melakukan operasi keamanan pada Oktober lalu, sebagai tanggapan atas serangan mematikan oleh pemberontak Rohingya di pos perbatasan.
Sebuah laporan PBB pada Februari lalu, berdasarkan wawancara dengan beberapa orang pengungsi Rohingya menyatakan pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan kelompok Rohingya dalam sebuah serangan yang sangat mungkin mengarah kepada kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis.
"Tidak ada yang harus menghadapi diskriminasi atau kekerasan, hanya karena latar belakang etnis atau kepercayaan agama mereka," kata Haley.
Pemerintah Myanmar menganggap sekitar satu juta etnis Rohingya sebagai migran ilegal dari negara tetangganya, Bangladesh. Pemerintah menolak kewarganegaraan mereka, meski keluarga Rohingya telah tinggal di sana selama beberapa generasi.