REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Semakin diperketatnya tes bahasa Inggris untuk menjadi warga Australia dapat merugikan perempuan yang berlatar belakang pengungsi atau ibu rumah tangga, demikian salah satu masukan yang diajukan kepada Pemerintah Federal Australia.
Juni lalu, usulan perubahan soal tes bahasa tersebut ditujukan kepada komite Senat, setelah Partai Buruh menentang rencana Pemerintah yang akan memperketat tes. Pengumuman soal akan adanya perubahan soal tes bahasa ini memicu kecaman dari kelompok migran dan pengungsi, beberapa di antaranya telah mengunggah apa yang mereka tuntut di dunia maya, meski pemerintah Australia tidak mempublikasikannya.
Beberapa diantara mereka menyoroti risiko bagi perempuan yang telah melarikan diri dari konflik atau kemiskinan di negeri asalnya, mungkin tidak memiliki keterampilan baca tulis apa pun. Sementara mereka yang memiliki tanggung jawab penuh untuk rumah tangga, memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggris di luar rumah.
Refugee Council di Australia memperingatkan perempuan yang terisolasi bisa lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. "Dampak dari perubahan yang diajukan adalah lebih mengisolasi perempuan dari masyarakat luas, membuat mereka lebih rentan dan berpotensi bergantung pada pasangan laki-laki mereka," katanya.
"Ini ironis yang tragis, mengingat kesetaraan gender adalah salah satu 'nilai Australia' dalam tes yang diajukan dan kekhawatiran soal kekerasan dalam rumah tangga diangkat dalam diskusi."
Ada potensi "gender yang bias" dari ujian bahasa Inggris yang lebih ketat, kata Edmund Rice Centre yang juga mengajukan pertanyaan kepada parlemen. Sementara, Liverpool Migrant Resource Centre di Sydney dan yayasan Jesuit Social Services mengatakan seharusnya ada lebih banyak fleksibilitas bagi orang tua yang kesulitan mengikuti program belajar bahasa Inggris.
Khawatir tes bahasa Inggris
Perubahan yang diinginkan pemerintah adalah mengganti tes kemampuan dasar berbahasa Inggris dengan tes kompetensi menggunakan bahasa Inggris, seperti berbicara, menulis, dan membaca. Perubahan ini membuat Nada Salman (29 tahun) khawatir. Sehari-hari ia merawat dua anaknya yang masih kecil di rumah di Darwin, sementara suaminya, Jihad bekerja untuk menafkahi keluarganya.
"Bahasa sulit dan butuh belajar minimal satu tahun di universitas. Saya punya dua anak, tidak belajar, di rumah, saya tidak belajar," katanya.
Jihad adalah insinyur yang memiliki kualifikasi, tapi ia juga mengendarai taksi sambil mencari pekerjaan lain. "Sepanjang hari saya menggunakan bahasa Inggris karena berkomunikasi dengan orang-orang di taksi atau di tempat kerja," kata Jihad.
Tidak menyediakan fasilitas
Tingkat dasar keterampilan bahasa Inggris yang dibutuhkan mereka yang hendak menjadi warga negara Australia, harus dipertahankan, demikian rekomendasi yang diajukan Komisi Hak Asasi Manusia Australia. Komisi tersebut, dan yang lainnya, juga mendesak pemerintah untuk mendukung migran baru dan pencari suaka dengan materi atau fasilitas memadai untuk dapat mengembangkan kemampuan bahasa mereka.
"Jam yang disediakan [dalam Program Bahasa Inggris untuk Migran] terus berkurang," kata Tasneem Chopra, dari Pusat Hak Asasi Perempuan Muslim Australia.
"Dengan menyediakan materi dan fasilitas lebih lanjut, tapi menuntut kemampuan yang tinggi bagi saya tidak masuk akal." Masukan dan rekomendasi bisa diajukan kepada Senat sampai 21 Juli sebelum meminta tanggapan dari pemerintah.
Diterbitkan oleh Erwin Renaldi pada 12/07/2017 pukul 16:00 PM dari artikel dalam bahasa Inggris, bisa dibaca disini.