REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyebut bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin lebih mengharapkan Hillary Clinton terpilih sebagai presiden AS pada pilpres tahun lalu. Pernyataan ini bertentangan dengan informasi yang dihimpun intelijen AS yang mengatakan bahwa pemimpin Rusia itu membantu Trump memenangkan pilpres AS.
Setelah berbincang dengan Putin dalam KTT G20 di Hamburg, Jerman, pekan lalu, Trump menyebut bahwa banyak hal yang ingin dia lakukan untuk AS dan bertentangan dengan harapan Putin. Salah satunya dalam bidang militer. Trump mengatakan bahwa Putin tidak menghendaki bila sumber daya militer AS kian menguat.
"Kami adalah negara yang paling kuat di dunia dan kami semakin kuat karena saya adalah seorang militer besar. Sebagai contoh, jika Hillary menang, militer kita akan hancur," kata Trump seperti dilaporkan laman the Guardian, Kamis (13/7).
"Karena itulah saya bilang, mengapa dia (Putin) menginginkan saya? Sejak hari pertama (menjabat presiden) saya menginginkan militer yang kuat dan dia (Putin) tidak ingin melihat hal itu," ujar Trump.
Selain itu, Putin, kata Trump, juga tidak menghendaki bila AS mampu mendapatkan sumber daya energi yang melimpah. "Ketika saya menginginkan energi yang luar biasa, kami membuka batu bara, kami membuka gas alam, semua hal yang akan dia (Putin) benci, tapi tidak pernah ada yang menyebutkannya," katanya.
"Jadi apa yang terus saya dengar bahwa dia (Putin) lebih suka memilih saya, saya kira mungkin tidak. Ada banyak hal yang saya lakukan yang bertentangan dengan keinginannya," ujar Trump.
Kendati demikian, Putin sendiri mengaku bahwa dirinya berharap dapat menjalin hubungan bilateral setelah bertemu dengan Trump di KTT G20 di Hamburg. "Trump yang Anda lihat di televisi sangat berbeda dengan Trump asli. Dia sangat mengerti siapa yang dia ajak bicara dan menjawab pertanyaan dengan cepat. Saya pikir hubungan pribadi telah terjalin," kata Putin pada akhir pekan lalu.
Putin dan Trump untuk pertama kalinya bertemu dalam sebuah sesi di KTT G20 di Hamburg, Jerman, pekan lalu. Pertemuan keduanya cukup mendapat sorotan setelah muncul dugaan bahwa Rusia terlibat dalam upaya pemenangan Trump pada pilpres AS tahun lalu.
Isu ini kian mencuat setelah Donald Trump memecat mantan direktur FBI James Comey. Dia diduga dipecat oleh Trump karena berusaha menyelidiki keterlibatan Rusia dalam pilpres AS.