REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pengadilan Thailand menjatuhkan vonis terhadap terdakwa kasus perdagangan manusia selama krisis pengungsi Rohingya pada 2015. Lebih dari 100 orang yang diadili atas kasus itu dinyatakan terbukti bersalah.
Selama ini warga Rohingya yang menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar kerap menjadi korban kekerasan. Lebih dari 140 ribu di antaranya tewas sejak terjadi konflik di Rakhine.
Warga Rohingya telah mengalami penindasan selama bertahun-tahun. Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Kemudian yang terbaru pada Oktober 2016. Ini menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.
Selama ini warga Rohingya tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut.
Pada 2015, gelombang pengungsi Rohingya juga bermunculan di sejumlah negara Asia Tenggara yang berdekatan dengan Myanmar. Setidaknya ribuan warga etnis itu terdampar di laut dan membuat kamp-kamp di hutan yang dirasa aman oleh mereka.
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku penyelundupan manusia. Di Thailand, sejumlah wilayah kerap menjadi rute perjalanan untuk melakukan kejahatan itu dan membawa para migran. Karena itu, internasiona menekan Thailand agar mengatasi kasus tersebut.