REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel memperkuat keamanan di Kota Tua Yerusalem pada Jumat (21/7) dan bersiap kemungkinan bentrokan dengan jamaah Muslim setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memutuskan pelacak logam di tempat suci itu tidak akan dibongkar.
Tiap hari terjadi benturan warga Palestina, yang melemparkan batu, dengan polisi Israel dengan granatnya sejak alat itu ditempatkan di pintu masuk tempat suci pada Minggu, setelah terjadi pembunuhan atas dua polisi Israel.
Kawasan tersebut dikenal umat Muslim sebagai al-Haram asy-Syarif dan oleh kaum Yahudi sebagai Bukit Rumah Suci. Pemimpin Muslim dan unsur politik Palestina mendesak jamaah berkumpul pada "hari kemarahan" melawan kebijakan keamanan baru itu.
Polisi Israel mengatakan satuan tambahan telah dikerahkan untuk meningkatkan keamanan di Kota Tua, sementara akses umat Muslim menuju tempat suci itu untuk melaksanakan shalat, akan dibatasi hanya untuk wanita dari segala umur dan laki-laki di atas 50 tahun. Alat penghalang ditempatkan pada akses jalan menuju Yerusalem, untuk menghentikan bus yang membawa umat Muslim ke lokasi tersebut.
"Polisi berkoordinasi untuk mengamankan jalannya shalat Jumat di tempat tersebut, dan pada saat yang sama tindakan pengamanan akan diterapkan," kata juru bicara Micky Rosenfeld.
Ketegangan seringkali meningkat di sekitar kawasan tersebut, yang di dalamnya berdiri Masjid al-Aqsha dan Kubah Batu Emas. Gesekan terjadi sejak Israel merebut dan mencaplok Kota Tua, termasuk kawasan suci itu dalam perang Timur Tengah 1967.
Pada Kamis, ada seruan kepada Netanyahu agar alat pelacak logam itu dibongkar untuk meredakan situasi. Presiden Turki Tayyip Erdogan, setelah membahas masalah ini dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyerukan kepada Presiden Israel Reuven Rivlin untuk mendesak pembongkaran tersebut.
Nickolay Mladenov, koordinator khusus Perserikatan Bangsa Bangsa untuk perundingan damai Israel-Palestina, yang telah lama terhenti, mengimbau semua pihak tetap tenang, dan Gedung Putih mendesak adanya sebuah upaya pemecahan masalah. Yordania, yang mengelola tempat suci itu, juga terlibat dalam upaya mediasi.
Gelombang serangan jalanan oleh warga Palestina yang dimulai pada 2015 telah berkurang, Namun belum berhenti. Sedikitnya 255 warga Palestina dan satu warga Yordania tewas sejak kekerasan dimulai.
Israel mengatakan bahwa setidaknya 173 dari mereka yang tewas, merupakan pelaku tindakan penyerangan, sementara lainnya tewas dalam bentrokan dan unjuk rasa. Sebanyak 38 warga Israel, dua turis AS dan seorang mahasiswi Inggris, tewas akibat penusukan, penembakan dan serangan dengan menabrakkan mobil.
Israel merebut wilayah Yerusalem Timur, tempat Kota Tua dan kawasan suci berada, setelah perang Timur Tengah 1967 dan Menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibukotanya, sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional.
Warga Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibukota negara mereka, sebuah negara merdeka yang wilayahnya mencakup Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Israel menuduh pemimpin Palestina menghasut warganya untuk melakukan kekerasan, namun pihak berwenang Palestina mengatakan bahwa keputusasaan warga Palestina selama pendudukan Israel adalah pendorong utama kekerasan terjadi.