REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Kelompok hak asasi perempuan menyambut 'keputusan bersejarah' yang diambil parlemen Yordania. Yordania mencabut undang-undang (UU) yang memungkinkan pemerkosa untuk lolos dari hukuman pidana jika menikahi korban mereka.
Majelis rendah parlemen Yordania pada Selasa (1/8) memutuskan untuk mencabut pasal 308, yang memungkinkan tuntutan pemerkosaan dibatalkan jika pemerkosa menikahi korban setidaknya selama lima tahun. Hukum ini berasal dari keyakinan bahwa pernikahan dapat mengurangi stigma negatif terkait pemerkosaan.
Dalam debat sengit, beberapa anggota parlemen berpendapat pasal 308 digunakan untuk melindungi korban perkosaan melawan stigma sosial dengan memberi mereka pilihan untuk menikah. Namun, akhirnya mereka memilih untuk mencabutnya.
Suad Abu-Dayyeh, konsultan Timur Tengah untuk Equality Now, sebuah organisasi advokasi hukum global, mengatakan keputusan tersebut merupakan pencapaian bersejarah di Yordania. Menurutnya, mereka yang berpendapat pernikahan dapat menawarkan perlindungan kepada korban perkosaan adalah salah.
Brendan Wynne dari Donor Direct Action, sebuah kelompok wanita internasional, mengatakan UU tersebut memberi izin kepada pemerkosa untuk melanjutkan pelecehan mereka.
"Mereka [korban] dipaksa untuk hidup secara permanen dengan mengerikan. Ini adalah kehidupan yang tidak mungkin, dan beberapa akhirnya melakukan bunuh diri, seperti yang telah kita lihat di negara lain," ungkapnya, dikutip The Guardian.
Anggota parlemen Yordania, Wafa Bani Mustafa, yang telah berkampanye untuk mengakhiri UU tersebut, mengatakan orang tua sering menyetujui perkawinan semacam itu untuk meminimalkan rasa malu keluarga. Namun dia mengatakan tidak ada perempuan yang harus dipresentasikan sebagai hadiah kepada pemerkosanya.
Keputusan tersebut sekarang diharapkan bisa disetujui oleh majelis tinggi dan Raja Abdullah II. Jika UU tersebut dicabut, Yordania akan bergabung dengan sejumlah negara yang telah terlebih dahulu menghapus UU "kawin dengan pemerkosa."
Tunisia melakukannya pekan lalu, sementara Maroko merombak UU tersebut pada 2014, setelah seorang gadis berusia 16 tahun melakukan bunuh diri karena dipaksa untuk menikahi pemerkosanya. Sedangkan Mesir mencabut UU ini pada 1999.