Senin 07 Aug 2017 00:30 WIB

'Terlalu Banyak Kebencian untuk Muslim di AS'

Bagian depan gedung Dar Al Farooq Center Islamic Center, yang menjadi lokasi ledakan pada Sabtu (5/8) pukul 05:05 waktu setempat atau ketika shalat shubuh. FPI menyatakan ledakan disebabkan alat peledak rakitan atau buatan.
Foto: EPA/CRAIG LASSIG
Bagian depan gedung Dar Al Farooq Center Islamic Center, yang menjadi lokasi ledakan pada Sabtu (5/8) pukul 05:05 waktu setempat atau ketika shalat shubuh. FPI menyatakan ledakan disebabkan alat peledak rakitan atau buatan.

REPUBLIKA.CO.ID, MINNEAPOLIS -- Teror lewat pemboman sebuah masjid yang terjadi di pinggiran Kota Minneapolis pada Sabtu (5/8) waktu setempat memperkuat kekhawatiran yang berkembang di kalangan Muslim bahwa mereka telah menjadi target kebencian dalam beberapa bulan terakhir.

"Terlalu banyak kebencian di sini," kata Mohamed Omar, direktur eksekutif masjid di Minneapolis tersebut selama dua tahun dalam sebuah wawancara telepon dengan LA Times, dilansir Senin (8/8). 

Pejabat penegak hukum mengatakan ledakan tersebut terjadi sekitar pukul 5 pagi di Pusat Islam Dar Al-Farooq di Bloomington, Minneapolis. Api dan asap memenuhi sebagian besar bangunan yang berstruktur bata merah, tapi tidak ada korban. 

FBI memimpin penyelidikan bersama penegakan hukum setempat. Pihak berwenang meyakini alat peledak rakitan yang menjadi sumber ledakan di masjid tersebut. "Ini menyedihkan dan hanya tindakan yang tidak manusiawi," kata Omar. 

Dia mengatakan beberapa orang berada di dalam masjid untuk sholat subuh ketika kejadian. Namun, dia merasa lega tidak ada yang terluka. "Kita harus bekerja untuk menemukan siapa yang melakukan ini," kata dia. 

Kepolisian memang belum menyebutkan ledakan di Minnesota sebagai kejahatan kebencian terhadap agama. Namun, peristiwa itu terjadi saat studi menunjukkan adanya peningkatan kekerasan terhadap umat Islam. 

Menurut Pew Research Center, Muslim mengisi sekitar satu persen populasi di Amerika Serikat, atau sekitar 3,35 juta orang, dan merupakan salah satu kelompok minoritas agama yang paling cepat berkembang. Bulan lalu, Pew merilis sebuah survei yang menunjukkan 48 persen Muslim mengatakan bahwa mereka menghadapi beberapa bentuk diskriminasi tahun lalu. 

Diskriminasi ini seperti memanggil dengan label tertentu atau ancaman. Survei tersebut, yang mempertanyakan sekitar 1.000 Muslim AS pada Januari sampai Mei, juga menemukan 74 persen Muslim menganggap Presiden Donald Trump tidak ramah.

Selama kampanye kepresidenan, Trump menyerukan pelarangan total umat Islam yang memasuki Amerika Serikat. Larangan itu setelah sebuah serangan teroris di San Bernardino, California, yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang diilhami oleh teroris Negara Islam. 

Baru-baru ini, Trump mengeluarkan sebuah perintah eksekutif yang melarang perjalanan dari enam negara mayoritas Muslim, sebuah upaya yang telah menyebabkan perselisihan hukum dan harus dibawa ke Mahkamah Agung. Pihak Trump mengatakan larangan tersebut diperlukan agar orang Amerika tetap aman.

Survei dari Pew juga menemukan pandangan negatif di kalangan Muslim Amerika terhadap ekstremisme Islam. Empat dari lima responden menggambarkannya sebagai ancaman bagi dunia.

Kendati banyak umat Islam menyuarakan keprihatinan dalam survei Pew, hampir 84 persen tetap mengelompokkan orang Amerika pada umumnya sebagai "orang yang ramah." Enam dari 10 Muslim AS menyatakan Islam belum dipandang sebagai bagian dari AS. 

Meski begitu, mayoritas mengatakan bahwa mereka bangga menjadi orang Amerika dan beragama Islam. Bahkan, sebagian besar tidak melihat perbedaan antara Islam dan demokrasi. 

Pada Sabtu waktu setempat, saat polisi terus menyelidiki pemboman di masjid Minnesota, Juru bicara Dewan Hubungan Amerika-Islam Ibrahim Hooper meminta Trump untuk mengutuk serangan tersebut. Namun, Gedung Putih tidak mengeluarkan sebuah pernyataan. 

Bahkan, Gedung Putih tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar. "Pejabat publik di tingkat nasional yang memilih diam hanya akan meningkatkan Islamofobia," kata Hooper dalam sebuah pernyataan. 

sumber : LA Times
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement