REPUBLIKA.CO.ID,Perselisihan antara pekerja di Papua Barat dan raksasa pertambangan Freeport-McMoRan semakin meningkat. Perusahaan tambang milik Amerika Serikat ini dituduh mengingkari layanan kesehatan bagi pekerja yang lakukan mogok, serta soal pendidikan untuk anak-anak pekerja.
Sebuah serikat pekerja global berada di Jakarta untuk melobi pemerintah Indonesia membantu menyelesaikan perselisihan yang sedang berlangsung antara Freeport dan sekitar 4.000 pekerja dari Pertambangan Grasberg di Papua Barat.
Serikat pekerja mengatakan para pekerja telah dipecat karena mengikuti mogok kerja. Kini mereka pun menuduh perusahaan tersebut sudah menahan hak-hak dasar mereka.
Pemogokan kerja yang dilakukan ribuan orang dilakukan setelah hak mereka dikurangi, di saat Freeport sedang bersitegang dengan pemerintah Indonesia soal izin pertambangan baru. Freeport mengatakan pekerja tersebut dianggap mengundurkan diri, karena mereka melanggar kontrak mereka di tambang tembaga terbesar kedua di dunia tersebut.
Andrew Vickers dari CFMEU Australia mengatakan pendidikan untuk anak-anak pekerja, hak kesehatan, dua di antara banyak hal lainnya, telah ditarik.
"Kami telah melihat kasus orang-orang yang dipulangkan dari rumah sakit, sebagai akibat dari kurangnya jaminan soal kesehatan dan tragisnya, kami diberitahu 10 orang meninggal dikeluarkan rumah sakit karena kurangnya layanan kesehatan ini," kata Andrew kepada ABC. Dia berada di Jakarta untuk melobi kepentingan para pekerja.
"Kami juga memahami bahwa tanpa jaminan penghasilan, bank-bank menyita pinjaman rumah, jadi keadaan sangat tragis terjadi di Papua Barat sebagai konsekuensi dari perselisihan perburuhan ini."
Andrew menyebutnya sebagai pelanggaran "mengerikan" terhadap hak asasi manusia dan para pekerja melakukan pemogokan secara legal.
Reuters: Antara Foto Agency, file
"Dalam kasus PT Freeport, di Papua Barat sekitar tambang Grasberg, perusahaan memiliki begitu banyak kekuatan dan banyak pengawasan," ujar Adam Lee dari Serikat Industri ALL Global, yang juga datang ke Jakarta.
"Mereka juga bisa pengaruhi sekolah sehingga anak-anak dari pekerja yang ikut mogok kerja tidak bisa belajar." Serikat pekerja telah menuntut mendapat akses ke lokasi tambang dan kawasan lain di wilayah Papua Barat yang ditutup.
"Kami ingin pergi ke Grasberg, dimana masyarakat berada, tempat para penambang ini tinggal dan menggali lebih dalam, serta mendapatkan informasi yang lebih baik dan lebih jelas soal dampak dari yang dilakukan pertambangan," kata Adam. "Sayangnya, perusahaan tersebut tidak memberi izin kepada serikat pekerja atau media."
Juru bicara Freeport Riza Pratama mengatakan kepada ABC bahwa pekerja tersebut dianggap telah mengundurkan diri, sehingga perusahaan tidak wajib untuk terus membayar mereka. Termasuk memberikan sekolah untuk anak-anak mereka.
Diterbitkan pada 11/08/2017 pukul 15:00 AEST. Simak laporannya dalam bahasa Inggris di sini.